Lakon satu babak ini memancing hujatan dan pujian dari masa ke masa. Di Inggris, lakon ini awalnya dilarang karena dianggap setengah biblikal dan setengah pornografi. Ia digambarkan sebagai karya yang aneh, tidak waras, dan menjijikkan. Oscar Wilde dituduh telah melecehkan simbol-simbol suci biblikal. Beberapa kritikus menilai karya ini sebagai jiplakan karya-karya bertema serupa dari para penulis lain. Beberapa kritikus lain justru melihatnya sebagai adaptasi kreatif dan interpretasi inovatif. Ada pula yang memandangnya sebagai salah satu pelopor estetika modern transgresif yang antisipatif terhadap gerakan avant-garde. Para kritikus gender dan queer membaca adanya female gaze yang subversif dalam lakon ini, di mana figur Salome memandang dan memanfaatkan kekuatan seksualnya untuk tujuan politis melalui kekerasan estetik. Elemen homoerotiknya juga dinilai sebagai isyarat perlawanan seksual Wilde. Di luar semua itu, sebagai hasil kerja intertekstual, lakon ini dianggap mencipta narasi inovatif yang meredefinisi genre tragedi simbolis Inggris.
Salome
Inilah lakon pertama Victor Hugo yang terbit dalam bahasa Indonesia. Lakon yang merupakan tonggak sastra dan teater romantisisme di Prancis ini bercerita tentang Hernani, bangsawan yang menyamar sebagai bandit yang memberontak untuk membalas dendam atas kematian ayahnya. Namun, seperti Romeo, ia juga seorang pecinta yang membara, yang kisah cintanya diakhiri tragedi bunuh diri. Sebuah kerusuhan meledak dalam gedung pertunjukan ketika pentas perdana lakon ini di Paris, 1830; yang justru mengukuhkan Victor Hugo sebagai figur terkemuka gerakan romantisisme dalam teater dan sastra Prancis.
Hernani
Six plays by six playwrights from six countries in Asia: Taxi Radio by Nophand Boonyai (Thailand), The Happiness of Nelson (and of Others Too) by Guelan Varela-Luarca (Philipines), Plunge by Jean Tay (Singapore), Red Janger by Ibed Surgana Yuga (Indonesia), Necrotopia by Ridhwan Saidi (Malaysia), Girl X by Suguru Yamamoto (Japan). Asian Playwrights Meeting was first held in Tokyo, Japan in 2009, and then in Melbourne, Australia in 2013. After 6 years hiatus, Asian Playwrights Meeting is launched again on July, 26-29 in Yogyakarta, Indonesia, organized and hosted by Indonesia Dramatic Reading Festival (IDRF), The meeting in Yogyakarta consists of panel discussions and public reading of the plays.
States of Crisis: Collection from Asian Playwrights Meeting 2019
Authors: Nophand Boonyai, Guelan Varela-Luarca, Jean Tay, Ibed Surgana Yuga, Ridhwan Saidi, Suguru Yamamoto
Tanslators: Andy Fuller, M. Dinu Imansyah, Alfian Sa’at, Yui Terada
Prologue: Muhammad Abe
Epilogue: Aya Ogawa
Language: English
Kalabuku, July 2020
xii + 282; 14 cm x 20,5 cm
ISBN: 978-602-51654-7-4
To get your own copy of the book, please donate at least Rp60.000 per book to fund the next Asian Playwrights Meeting and Indonesia Dramatic Reading Festival.
Pada 15 Desember 1969, Giuseppe Pinelli, seorang anarkis dan pegawai jawatan kereta api, mati “terjatuh” dari jendela lantai empat markas kepolisian di Milan. Kepolisian mengatakan Pinelli sengaja bunuh diri saat diinterogasi atas dugaan pengeboman di stasiun kereta api. Namun kemudian muncul bukti-bukti yang menyatakan bahwa Pinelli sengaja dibunuh oleh pihak kepolisian. Kejadian ini menambah ketegangan politik sayap kanan dan kiri di Italia, lalu menggugah Dario Fo—aktor dan penulis lakon beraliran kiri Italia—menulis sebuah lakon satire penuh gugatan: Morte accidentale di un anarchico. Lakon yang mengantar penulisnya meraih Nobel Sastra 1997 ini diterjemahkan langsung dari versi asal bahasa Italia, oleh Antonia Soriente dan Prasetyohadi, menjadi Anarkis Itu Mati Kebetulan.
Anarkis Itu Mati Kebetulan
Eugène Ionesco, sebagai salah satu eksponen Teater Absurd Prancis, sering diidentifikasi sebagai pengikut filsafat eksistensialisme, terutama lewat Sartre dan Camus. Padahal, Ionesco menolak Sartre; walaupun ia menghormati Camus setinggi-tingginya. Ionesco juga menolak beberapa kajian kritikus terhadap lakon-lakon karyanya. Sang Pemimpin dan Masa Depan Ada dalam Telur ini memuat dua lakon pendek karya Ionesco: Sang Pemimpin dan Masa Depan Ada dalam Telur atau Dibutuhkan Segala Hal untuk Membuat Sebuah Dunia. Dalam Sang Pemimpin kita bisa membaca absurditas para pemuja pemimpin yang pada dasarnya adalah pemimpin yang dibayangkan. Sedang Masa Depan Ada dalam Telur mencoba meletakkan makna bangsa dalam sebuah keluarga, di mana produksi harus terus dijalankan untuk menjaga peradaban industri, yang notabene mengabaikan makna keluarga (baca: bangsa) dan manusia itu sendiri. Diterbitkan menjelang pemilu, diharapkan bukan hanya lakon Sang Pemimpin yang akan memberi impresi artikulatif yang lebih dalam, namun semoga juga Masa Depan Ada dalam Telur bisa menyumbangkan resonansi wacana yang cukup luas tentang masa depan peradaban sebuah bangsa dan negara. Buku ini dipungkasi dengan wawancara Richard Schechner dengan Ionesco. Schechner, sang akademisi Performance Studies terkemuka itu, mencoba mengonfirmasi berbagai kajian terhadap lakon-lakon Ionesco, termasuk tentang hubungannya dengan filsafat eksistensialisme, Marxisme, hingga perkembangbiakan benda-benda. Buku ini secara resmi diluncurkan Kalabuku pada 28 Maret 2019, guna memperingati 25 tahun kematian Ionesco (28 Maret 1994).
Sang Pemimpin dan Masa Depan Ada dalam Telur: Dua Lakon Pendek
Hampir semua karya pertama Leo Tolstoy, di segala jenis karya tulis, selalu berhasil menjadi yang terkemuka. Hanya pada karya dramalah Tolstoy mengalami kegagalan pada usaha pertamanya. Namun selanjutnya, keberhasilan pun diraihnya dengan sangat cepat di jalur ini; sehingga keberhasilannya itulah yang justru mengejutkan, bukan kegagalannya. Diterjemahkan dari The Living Corpse, lakon Lelaki yang Mati ditulis Tolstoy berdasar fakta tentang campur tangan hukum yang tidak membawa kebaikan bagi siapa pun, dan justru merugikan semua pihak yang terlibat. Lakon ini adalah bagian yang tak terpisahkan dari teori non-resistan Tolstoy yang mengungkapkan bahwa pengadilan dan penyelenggaraan peradilan benar-benar berbahaya. Tolstoy mengakui bahwa Lelaki yang Mati dan Hadji Murad adalah dua karya terakhirnya yang paling berharga bagi dirinya sendiri. Ini adalah karya lakon pertama Tolstoy yang terbit dalam edisi bahasa Indonesia.
Lelaki yang Mati
Diterjemahkan dari Three Sisters, sebuah lakon tentang ilusi kebahagiaan sebuah keluarga yang kehilangan patron. Salah satu dari empat lakon besar karya Anton Chekhov ini ditulis khusus untuk produksi Moscow Art Theatre (MAT). Pertunjukan perdananya pada awal 1901 digawangi oleh duo sutradara MAT: Konstantin Stanislavski dan Vladimir Nemirovich-Danchenko. Tiga Saudari dalam buku ini hadir dengan epilog sebuah catatan proses dari Konstantin Stanislavski, mahaguru teater Rusia dan dunia, sutradara pertama yang menggarap lakon ini. Disertai pula dengan wacana dari editor yang mencoba melacak kembali jejak penulisan lakon ini, serta penggarapannya oleh MAT. Buku ini akan diluncurkan secara resmi oleh Kalabuku pada 31 Januari 2018, untuk memperingati pentas perdana lakon ini oleh MAT pada 117 tahun lalu: 31 Januari 1901.
Tiga Saudari