Wacana Pembuka "Dramaturgi Rasa"

   lakon (laku + an) n sesuatu (teks) yang/untuk
        dilakukan, diaksikan, diperistiwakan, diwujudkan,
        oleh makhluk hidup dan/atau dengan benda mati


Bagaimana menuliskan laku?

Sejauh apa pun pertunjukannya meninggalkan kata, panggung teater masih membutuhkan teks. Langkah kaki adalah teks, tubuh diam adalah teks, gelap adalah teks, ruang kosong adalah teks, bahkan tubuh-yang-menolak-teks adalah teks. Teks adalah kelindan, jalinan, tenunan ide-ide, entah ia tertulis atau tidak. Maka, semasih manusia panggung membutuhkan ide untuk laku panggung, semasih laku panggung memerlukan ingatan, semasih peristiwa digerakkan oleh manusia dan lingkungannya, kebutuhan akan teks adalah alamiah. Peristiwa panggung bisa saja berlangsung tanpa lakon tertulis, tapi ia mustahil terjadi tanpa teks. Menuliskan laku, menyurat teks, mencipta naskah lakon adalah perihal kesanggupan untuk menjadikan teks, tenunan ide-ide itu, sebagai sesuatu yang maujud, yang terbaca (oleh orang lain).

Sebagai teks tertulis, dan dilihat dari ruang-ruang proses pewujudannya, lakon setidaknya mewujud sebagai teks-sastra, teks-pascasastra-prapanggung, dan teks-pascapanggung. Ketiga wujud ini akan sangat berbeda satu sama lain meskipun ketiganya berasal dari teks yang tunggal. Dalam wujudnya sebagai teks-sastra, lakon hadir sebagai teks untuk dibaca, sebagaimana novel, cerpen, atau puisi, atau bahkan berita. Kualitasnya ditentukan oleh keterbacaan dan kesastrawiannya. Ketika lakon melangkah menuju panggung, disiapkan untuk produksi pertunjukan, ia menjadi teks-pascasastra-prapanggung. Di sini, lakon mengalami proses tawar-menawar dengan dramaturgi, dengan realitas panggung, dan konsekuensinya adalah perubahan dari wujud sebelumnya. Perubahan ini adalah akibat dari campur tangan para awak panggung. Dalam wujud ini, kualitas sebuah lakon ditentukan oleh kapabilitas dramaturgisnya, kesintasannya di ruang panggung. Ketika lakon mengada di panggung sebagai pertunjukan, ia menjadi teks-panggung atau teks-pertunjukan, teks yang hidup dalam peristiwa. Ia hidup dalam kesekejapan yang kini-di-sini. Ketika ia dituangkan (kembali) ke dalam bentuk tulisan setelah pertunjukannya (atau direkam dengan alat), ia akan menjadi teks-pascapanggung, teks tertulis (atau teks rekaman) yang berusaha merekam teks-panggung melalui berbagai perangkat interpretatif dan dokumenter. Penulisan kembali lakon setelah pertunjukannya selesai menjadi praktik yang lumrah di dunia teater kini.

Pengalaman bersemuka dengan ruang panggung, mengalami tawar-menawar dengan dramaturgi, serta kiblat pada wacana tertentu memunculkan berbagai kecenderungan dramaturgis dalam penulisan lakon. Berbagai kecenderungan juga muncul sebagai konsekuensi dari semangat zaman (historis), pandangan dunia (ideologis), atau orientasi artistik (estetis) tertentu. Dalam medan dan rentang perjalanan teater dunia, kita bisa melihat berbagai kecenderungan dramaturgis, seperti dramaturgi puitik (poetical dramaturgy), dramaturgi kisah (telling dramaturgy), dramaturgi tubuh (physical dramaturgy), dramaturgi arsip (archive dramaturgy), dramaturgi dokumenter (documentary dramaturgy), dramaturgi lingkungan (environmental dramaturgy), dramaturgi visual (visual dramaturgy), dramaturgi media (media dramaturgy), dramaturgi pemberdayaan (empowerment dramaturgy), dan sebagainya.*) Keakuratan istilah-istilah ini tentu saja masih bisa diperdebatkan, baik sisi konsepsi maupun aplikasinya; namun setidaknya istilah-istilah tersebut memberikan gambaran tentang bagaimana penulisan lakon bernegosiasi dan bergumul dengan dramaturgi, dengan panggung sebagai ruang dengan keluasan maknanya.

Di ranah wacana yang lain, lakon sering diposisikan sebagai karya tulis yang bernaung dalam dua rumah: sastra dan teater. Memiliki dua rumah ternyata bukan posisi yang menguntungkan bagi dunia lakon, melainkan dilematis dan menjadikan lakon sebagai anak tiri di kedua rumah (tangga) itu. Ketika teater menjalankan dramaturgi kisah atau dramaturgi puitik, lakon masih bisa dengan leluasa bolak-balik antara rumah sastra dan rumah teater. Saat teater memilih jalan kecenderungan dramaturgis lainnya, maka lakon perlahan dinafikan di rumah sastra. Berbagai kecenderungan dramaturgis, di luar dramaturgi kisah dan dramaturgi puitik, menganggap lakon (dalam bentuknya yang konvensional) sebagai media yang tak memiliki kapabilitas untuk menampung dan mengoperasikan berbagai gagasan yang hendak dijalankan. Lakon tak lagi integral dalam teater semacam ini; dan kalaupun masih dianggap berkontribusi, lakon hanya diambil beberapa modusnya saja untuk menjalankan gagasangagasan dalam konsep dramaturgi yang diberlakukan. Sementara itu, di rumah sastra, lakon dianggap cuma menumpang lahir karena pertumbuhannya dianggap bukan di ruang pembaca sastra, melainkan di rumah teater.

Karena lakon merupakan dunia kreasi komunikasi, alih-alih “bernaung dalam dua rumah”, kami lebih suka menyebutnya “bermulut dua”: satu mulut sastra, satu mulut teater. Dengan mulut sastra, lakon berucap secara sastrawi, menggunakan bahasa kata, dalam realitas perangkat literer; melalui mulut teater, lakon berbicara secara dramaturgis, menggunakan bahasa peristiwa, dalam realitas panggung. Istilah “mulut” ini kami gunakan untuk lebih mengangkat daya tawar lakon sebagai karya tulis yang sebenarnya memiliki lebih banyak saluran dan potensi untuk berbicara ketimbang karya tulis lainnya.

Sastra sebagai mulut pertama lakon berbicara melalui bahasa kata yang secara konvensional dikategorikan sebagai narasi fiksi; dan fiksi sering dioposisikan dengan fakta. Oposisi biner ini rasa perlu direposisi. Narasi yang selama ini kita kategorikan sebagai fiksi adalah sebuah dunia yang memiliki realitasnya tersendiri yang berbeda dengan realitas dari apa yang disebut sebagai fakta; mirip dengan panggung yang memiliki realitas tersendiri yang berbeda dengan realitas ruang keseharian. Selain itu, sastra juga perlu diluaskan maknanya hingga ke pustaka, kitab “suci”, bahkan kitab ilmu pengetahuan. Dengan keluasan semacam ini, lakon yang berbicara dengan mulut sastra bisa lebih leluasa menjangkau berbagai kekuatan bahasa tulis untuk mempresentasikan atau merepresentasikan suatu ide, sehingga lakon bukan sekadar antologi kata yang sastrawi, bukan sekadar kumpulan cakapan.

Lakon dengan mulut teater—mulut keduanya—berbicara dengan bahasa peristiwa: semacam antologi laku yang berjejaring. Jejaring ini berada dalam sebuah ruang yang bernama dramaturgi yang membayangkan sebuah realitas panggung yang ideal. Idealitas akan realitas panggung untuk menjalankan peristiwa ini menjadi sebuah cita-cita dan alasan mengapa sebuah lakon ditulis. Lakon, dengan mulut teaternya, adalah salah satu dari segelintir jenis teks (tentu saja di luar teks-teks how to yang praktis) yang mengada bukan hanya untuk dibaca, tapi untuk mengajak bergerak, beraksi, berlaku. Lakon adalah teks yang membayangkan idealitas teks-panggung atau teks-pertunjukan yang maujud dalam kesekejapan kini-di-sini yang tak tergantikan. Di sana, dramaturgi bukan sekadar menjadi ruang, tapi juga perangkat atau prasarana untuk menuju idealitas itu.

LeLakon mencita-citakan—atau setidaknya mewacanakan—mulut ketiga lakon, yaitu wacana, pengetahuan, atau bahkan ilmu. Dengan demikian, lakon tidak lagi terjebak pada dualisme sastra dan teater. Lakon bukan lagi sebagai sekadar teks sastra dan teks teater semata, tapi ia bisa diposisikan sebagai teks wacana/pengetahuan yang berbicara melalui kemurniannya sebagai teks. Jika kita andaikan ekstrak dari lakon adalah dramatika, dan jika kita masih mau berpatokan pada istilah klasik ini, maka ketiga mulut yang dimiliki lakon bisa kita perinci sebagai dramatika kata, dramatika peristiwa, dan dramatika wacana/pengetahuan. Mulut wacana/pengetahuan bisa berbicara secara multilingual sehingga—dalam posisinya sebagai teks-prapanggung—ia mengandung multidramaturgi. Kandungan ini adalah potensi bagi kemunculan dramaturgi-dramaturgi baru, baik pada tataran konsep dalam teks maupun tataran laku dalam pertunjukan.

Ini adalah rangkaian cita-cita yang belum tentu tercapai secara utuh dalam LeLakon 2020 ini, baik pada sisi kurasi maupun dalam lakon-lakon yang terpilih. Namun demikian, cita-cita tetaplah harus disematkan. •

Ibed S. Yuga
Penggagas LeLakon


*) Untuk sebagian besar istilah kecenderungan dramaturgis ini, kami mesti berterima kasih kepada Benny Yohanes.