Remaja Indonesia dan Teaternya

Catatan Penulis Ayahku Stroke tapi Nggak Mati

Kawan-kawan teater remaja
dan kakak-kakak pendamping,

Semua naskah dalam buku ini saya tulis pada rentang 2003 sampai 2006, hampir 20 tahun yang lalu. Tema naskah bervariasi, mulai dari posisi sosial remaja dalam keluarga dan masyarakat, fotografi dan keintiman, uang saku sebagai alat kontrol remaja, hingga politik dan solidaritas di sekolah. Ruang gerak remaja diperluas, bukan hanya sekolah, melainkan juga rumah dan keluarga, serta ruang publik. Semua ditulis dalam gaya dan pijakan kehidupan sehari-hari (everyday life studies) untuk mengembangkan model pertunjukan, terutama dengan basis realisme. Hasilnya, tentu sudah bukan realisme itu sendiri, tetapi lintas dramaturgi seperti yang kita lihat dalam buku ini. Model pengembangan inilah yang menggerakkan praktik Teater Gardanalla yang berbasis di Yogya selama dua dekade 2000-an.

Ketika membacanya sekarang, saya tentu menemukan banyak catatan yang menunjukkan kemungkinan lain pengembangan naskah. Saya tidak menindaklanjuti catatan itu lewat banyak revisi. Saya membiarkan orisinalitasnya merekam proses kreatif saya sendiri dalam penulisan naskah teater sedari awal secara otodidak, tanpa kelas dan workshop penulisan naskah teater yang sekarang lebih banyak ditemukan. Satu-satunya workshop penulisan naskah yang saya alami hanya berasal dari lokakarya teater rakyat, di mana naskah dikembangkan dari pengumpulan data dan berhenti di struktur adegan (treatment). Pengembangan dialog tertulis saya dapatkan dari berbagai referensi, seperti percakapan dalam kehidupan sehari-hari itu sendiri ataupun yang termediasi dalam naskah teater lain, novel, ataupun film. Semua pengalaman, pengetahuan, dan evaluasi dalam proses kreatif itulah yang sering kali menjadi pijakan saya menyusun materi jika saya mengampu kelas penulisan naskah teater.

Selain Kudeta, tiga naskah lainnya sudah pernah diproduksi oleh Teater Gardanalla. Aktor yang memainkannya juga remaja atau setidaknya pelaku teater muda (ada yang usia kuliah, ada juga yang usia SMA). Tiga naskah pertama itu pernah diterbitkan dalam satu kumpulan pada 2005. Anehnya, naskah yang tidak terbit itu, yakni Kudeta, juga relatif sering dipentaskan oleh teater-teater SMA, sama halnya dengan naskah Ayahku Stroke tapi Nggak Mati di lingkungan teater kampus. Bagaimana mungkin naskah yang tidak terbit dapat beredar dan diakses publiknya?

Saya melihat hal ini dalam beberapa pengertian. Pertama, naskah Kudeta hanya beredar dalam bentuk fotokopian, ikut tersebar dan berkeliaran dengan sendirinya. Model distribusi seperti ini lazim dalam teater Indonesia, di mana kita mendapatkan fotokopian naskah yang belum pernah diterbitkan. Sejak saya mulai berteater pada awal 1990-an, naskah fotokopian banyak berseliweran di lingkaran-lingkaran latihan, bahkan hingga sekarang. Selalu saja ada jalan bagi naskah-naskah seperti ini untuk bertemu jodohnya, yakni pelaku-pelaku yang tertarik dengan isu dan estetika yang ditawarkan. Seingat saya ia juga pernah diunggah beberapa situs (web atau blog) naskah teater, yang saya yakin punya peran besar dalam distribusi naskah Kudeta dan naskah-naskah lain. Terima kasih untuk kawan-kawan pengelola situs seperti ini atas ketelatenannya.

Kedua, kita sebagai pelaku teater remaja memang membutuhkan naskah teater remaja, terutama bagi kawan-kawan yang bergerak di kalangan kampus untuk studi pentas anggota baru atau pentas tahunan teater SMA. Ayahku Stroke tapi Nggak Mati dan Kudeta bisa jadi model yang paling luwes untuk berbagai kebutuhan, termasuk kenyataan kurangnya gedung pertunjukan yang memadai atau black box di banyak kota di Indonesia. Naskah Ah, Kamu …! yang secara sengaja ditulis dan diproduksi untuk merespons kenyataan itu, justru tidak terlalu popular karena karakternya yang terlalu intim. Meski begitu, naskah ini saya lengkapi dengan langkah-langkah penulisan, sehingga ia tidak hanya dikenali sebagai naskah jadi, tetapi sebagai model tahapan penulisan naskah.

Sementara itu, naskah Jalur 17 sangat spesifik merujuk pada ruang dan waktu tertentu (site specific), yakni transportasi umum (bis kota) di Yogya pada pertengahan 2000-an. Ketika naskah Jalur 17 sudah tidak relevan di Yogya, bisa dibayangkan konteksnya agak sulit diadaptasi di kota lain (atau malah masih relevan?). Setidaknya, ia jadi pencatat bahwa bus kota pernah jadi ajang pertemuan banyak remaja pada masanya, sebelum media sosial berkembang seperti sekarang ini. Sama halnya dengan Ah, Kamu …!, saya harapkan naskah ini bisa jadi model penulisan naskah teater yang lebih eksploratif pada ruang dan kepenontonan. Meski sulit dipentaskan dalam konteks lain, saya pernah melihat Jalur 17 dikutip sebagai bagian soal ujian Bahasa Indonesia. Hal ini menujukkan, jika naskah teater dapat diakses oleh publik, ia dapat menjadi bahan ajar sebagaimana karya tulis lain, seperti novel, cerpen, atau puisi.

Ketiga, mengikutsertakan naskah Kudeta dalam edisi terbaru kumpulan ini adalah upaya untuk meletakkannya dalam satu percakapan yang sama, yakni praktik kita dalam teater remaja itu sendiri. Semuanya untuk menjawab kebutuhan naskah teater bagi kita semua yang berasal dari kalangan muda.

Keempat, yang juga jadi harapan saya, naskah ini berguna mendokumentasikan praktik teater secara umum yang pernah terjadi di pertengahan dekade 2000-an, menghubungkannya dengan praktik-praktik artistik sebelum dan sesudahnya. Teater remaja, dengan demikian, tidak berdiri sendiri, tapi utuh menjadi bagian dari ekosistem teater Indonesia secara keseluruhan. Pada praktiknya, banyak seniman teater yang sekarang aktif, termasuk saya, memulai praktik artistiknya dari tingkat SMA lewat kegiatan ekstrakurikuler, atau perlombaan di tingkat propinsi/ kota.

Pada edisi baru ini, bersama penerbit, saya sepakat untuk menambahkan keterangan yang kami anggap penting. Penambahan petunjuk adegan, ilustrasi foto, resensi pertunjukan, dan pengantar edisi baru yang sedang kita baca ini adalah contohnya. Semoga semua penambahan itu membantu kita mengenali siapa kita, (yang pernah jadi) remaja Indonesia, dan bagaimana teater yang muncul dari sana.

Brooklyn, New York City, 5 Juli 2022
Joned Suryatmoko