Prawacana Penyunting

Teater di Pagina

Masih kuatkah lambung panggung mencerna kata-kata? Teater mungkin saja sedang mengidap mag akut, dilarang dokter memamah sembarang kata. Kata-kata pedas, asam, berlemak, berkafein, bersantan, bersoda, dan beralkohol pantang dilahap teater mag akut. Teater harus jaga kesehatan jika masih mau mentas nanti malam.

Namun, bukankah tanpa mengidap penyakit sekalipun, teater telah terbiasa berdiet ketat? Tak boleh menyantap hidangan isu sensitif SARA, menenggak minuman porno, atau nyemil kudapan subversif. Jangan-jangan, kita tak sadar bahwa teater juga telah menjelma jadi mesin cerna tekstual untuk mendisiplinkan kata-kata.

Memboyong kata-kata keluar dari teater, melepas mereka di pagina-pagina buku, barangkali menjadi tindakan kreatif-intelek yang urgen. Namun, jangan tuduh kata-kata ini—datang dari—sastra, atau filsafat, atau ilmu pengetahuan. Mereka digiring dari teater untuk merumput di padang ilalang yang subur di atas pagina. Anggaplah seperti menggembalakan gajah-gajah jompo pensiunan sirkus. Keringat mereka bau backdrop yang berabad-abad tak pernah dicuci; bukan bau tinta mesin tik atau taplak meja konferensi.

Membaca tulisan-tulisan BenJon dalam buku ini, kita disuguhi tontonan eksodus kata-kata (aktor tak bertubuh, kata BenJon) dari teater. Mereka berhamburan seperti para pengungsi dari sebuah kota yang dibom, menuju pagina-pagina buku, membuat koloni-koloni baru, membentuk teater baru: teater di atas kertas.

Mungkin, si teater baru ini tak sepenuhnya lahir dari pemikiran baru. Bermilenum-milenium, teater dididik dengan kata-kata. Semestinya, teater jauh lebih cerdas ketimbang mesin kecerdasan buatan yang diajari dengan data-data selama (hanya) bertahun-tahun masa persiapannya. Eksodus kata-kata dari teater, yang lalu membentuk teater baru (baca: sistem wacana/pengetahuan baru), di luar panggung teater, semestinya bukanlah sesuatu yang unik. Dengan sombong harus diakui bahwa teater adalah entitas yang pepak dan rumit. Teater bisa membuat apa pun dengan modus apa pun. Dia genius bin lihai! Namun, dia sering bebal dan penyakitan.

Melalui seratus tulisan yang sulit didisiplinkan, BenJon tengah “memperdaya” kegeniusan dan kelihaian teater dalam menyutradarai kata-kata. Tak hanya itu, BenJon juga dolanan dengan kebebalan teater, dan sering menggelitik pinggang teater yang sedang encok—alih-alih memijatnya.

Begitulah, di ujung-ujung jari BenJon, teater meragu: masih mau mentas nanti malam atau enggak.

Ibed S. Yuga


Catatan: 

Buku ini menjadi terbitan pertama Kalabuku yang menerapkan tanda baca “‽” (interobang) sebagai pengganti “?!”. Penggunaan interobang tidak lazim dan tidak diatur dalam tata bahasa Indonesia resmi, tetapi praktik penggunaan “?!” jamak kita temukan dalam naskah lakon.