Pengantar Penyunting

Ringsek

Dalam dunia teater kontemporer di Bali—bahkan Indonesia—Nanoq da Kansas bukan hanya seorang kreator, melainkan juga pejuang teater. Bersama Teater Kene pada dekade 1980-an, serta Bali Eksperimental Teater (BET) sejak dekade 1990-an, Nanoq menggerakkan estetika teaternya yang cukup unik dari Jembrana, sebuah kabupaten di ujung barat Bali, yang—secara sentimen kultural—sering dianggap sebagai “bukan Bali”. Bersama BET pula, hingga kini, Nanoq bukan hanya menciptakan dan mengembangkan karya-karya teaternya, melainkan juga melahirkan dan menumbuhkan persona-persona muda pegiat teater kontemporer Bali. Di samping itu, melalui beberapa lembaga yang diinisiasinya—seperti Komunitas Kertas Budaya, Komunitas Dusun Senja, serta Badai di Atas Kepalanya—Nanoq dengan tekun dan gembira menemani, membimbing, memfasilitasi kaum muda di Jembrana untuk belajar menulis, bermusik, mendongeng, berpidato, menggambar, membaca puisi/cerpen, hingga mengelola festival. Semua dilakukannya sambil berjualan kopi di sebuah warung—sekaligus situs bagi segala gerakan kebudayaan yang dilakukannya—yang dinamainya Rompyok Kopi.

Sebagai penulis naskah teater, Nanoq adalah seorang pemulung dan koki teks yang bekerja dengan teropong individual dalam ruang/lingkungan lokal, tetapi radar kritis dan kreatifnya bersifat translokal. Naskah-naskah teaternya sering kali berupa oplosan tekstual. Dengan teropong individual, terutama pada masa awal kepenulisannya, Nanoq mengoplos bahasa dari “masyarakat udik” serta cara pandang khas mereka terhadap lingkungan dan narasi sosiopolitik yang melingkupi mereka. Pada beberapa sisi, oplosan tekstual tersebut terkesan polos, banal, dan nyinyir, tetapi di sisi lain juga sengak, kritis, dan absurd.

Naskah-naskah teater Nanoq adalah teks-teks terbuka, baik tuturan maupun lakuannya. Keterbukaan itu sepertinya merupakan respons terhadap sumber daya—manusia maupun materi—yang dimiliki BET serta kondisi lingkungan/masyarakat yang melingkupinya. Sumber daya manusia BET terdiri dari seniman-seniman yang mendefinisikan diri mereka sebagai “orang kampung” yang tak pernah ngotot dengan keketatan artistik, selalu luwes dan adaptif bekerja dengan material-material “kampungan” yang mereka pulung dari lingkungan sekitar. Dalam kondisi yang demikian, pilihan Nanoq untuk menulis teks-teks yang terbuka adalah mutlak. Teks-teks mesti ditulis dengan memasang celah masuk hampir di setiap spasi kata-katanya, bukan hanya untuk merespons sumber daya internal, melainkan juga untuk membuka diri terhadap berbagai perubahan lingkungan/masyarakat.

Dalam kondisi “demokratisasi media” sekarang ini, ketika masyarakat nyaris tak bisa lagi dipilah ke dalam kategori “masyarakat udik” dan “masyarakat urban”, tetapi telah berkerumun menjadi “masyarakat media sosial”, teks-teks terbuka Nanoq pun dengan luwes dan gampangnya memulung isu-isu dan diksi-diksi “kekinian” yang dipopulerkan oleh media sosial—yang sering kali tak berumur panjang. Lihatlah bagaimana isu dan diksi ngarit, kue jamblem, koran, sekdes, ikan asin, terentaskan, hansip, sapi, posyandu, misalnya, bergerak dan bertransformasi menjadi screenshot, status, Instagram, weka-weka, anjay, caleg, wakil presiden, emka, bahkan omon-omon. Meski demikian, teropong individual Nanoq sebenarnya tak berubah, yang salah satunya bisa dibaca melalui tema-tema yang ditawarkannya, yang nyaris ajek pada ketujuh naskah dalam buku ini. Tema-te- ma itu sebagian besar berada pada spektrum protes terhadap kekuasaan, gugatan akan ketimpangan sosial, kejengkelan pada situasi politik, problem antargenerasi, kadang ditingkahi sketsa asmara.

Pergerakan tekstual yang demikian, yang sinkron dengan masa penulisan naskahnya (1980-an–2010-an), selain memperlihatkan perubahan wajah masyarakat, juga menunjukkan bagaimana teater—setidaknya Nanoq dan BET—berjuang untuk bertransformasi seiring perubahan wajah masyarakat itu. Membaca riwayat yang cukup panjang dari naskah-naskah itu, serta mengamati gerakan teater yang telah dilakukan Nanoq bersama BET, adalah sahih untuk memosisikan mereka sebagai sekumpulan penanda penting bagi sejarah dan kecenderungan estetis teater kontemporer di Bali sejak 1980-an hingga kini—yang tentu saja turut menggerakkan teater kontemporer (di) Indonesia. ◉

Ibed S. Yuga
Penyunting