Membongkar Stereotip dalam Utang Emosi

Pengantar Forbearance/Utang Emosi

Melani Budianta

Di tengah-tengah demografi komunitas teater Indonesia, saya termasuk sangat minoritas karena saya seorang penulis dan sutradara, yang selain wanita, juga keturunan Tionghoa. Sangat bisa dihitung dengan jari keikutsertaan wanita Tionghoa di dunia teater.

Kutipan di atas, yang mengawali lakon berjudul “烊值 (Ambang Lebur)” dalam kumpulan naskah karya Agnes Christina, mengacu pada permasalahan dalam teater dan sejarah penulisan lakon di Indonesia. Pertama-tama sebagai genre, naskah lakon dianggap sebagai persiapan untuk pementasan teater, yang sering kali diabaikan dan tak dipublikasikan. Padahal, kesusastraan dunia mencatat berbagai mahakarya di bidang lakon, seperti karya William Shakespeare, Bertolt Brecht, dan lainnya. Yang kedua, kontribusi perempuan sebagai aktivis teater maupun penulis lakon sangat jarang diperhitungkan. Ada pandangan kuat bahwa dunia teater—yang bersifat publik serta sering kali menuntut kerja pelatihan dan persiapan sampai larut malam—adalah wilayah maskulin. Konstruksi sosial semacam ini diperkuat dengan nilai yang disosialisasikan di lingkungan keluarga dengan latar belakang etnis yang berbeda-beda, bahwa anak perempuan tidak pantas berada di dunia teater.

Kontribusi orang Tionghoa dalam dunia teater di Indonesia cukup panjang, mulai dari juragan Komedi Stamboel, penulis lakon Melayu Tionghoa Kwee Tek Hoay dan Nyoo Cheong Seng, sampai Teguh pemimpin Srimulat, dan Teguh Karya yang mendirikan Teater Populer.

Tokoh perempuan Tionghoa banyak ditemukan dalam naskah lakon Melayu Tionghoa di era sebelum kemerdekaan. Tentu dalam pementasannya tokoh-tokoh itu diperankan oleh perempuan—biasanya untuk kalangan terbatas. Bagaimana sosok perempuan Tionghoa tersebut ditampilkan, sangat terkait dengan nilai-nilai yang dominan pada masanya—dan persepsi kelompoknya. Namun, bagaimana perempuan Tionghoa bicara tentang dirinya sendiri melalui penulisan dan penyutradaraan naskah lakon, sulit ditelusuri. Oleh karena itu, buku ini memberikan kontribusi yang sangat langka dan berharga.

Struktur Lakon
Empat lakon ini semuanya mengangkat isu identitas sebagai minoritas Tionghoa dengan berbagai permasalahannya. Memotret kehidupan yang berbeda-beda, dua lakon dibangun dengan gaya semirealis, memotret keseharian kehidupan tokohnya, diselingi ingatan kilas balik masa kecil, atau sejarah keluarga, atau monolog tokoh utama. Dua lakon terakhir membangun gaya yang lebih bersifat simbolik dalam menyikapi permasalahan yang diangkat. Aspek postmodern yang memberi nuansa kontemporer dalam lakon-lakon Agnes Christina terlihat dari kecenderungan lakon untuk secara serius bermain-main dengan struktur. Contohnya adalah lakon yang mengomentari dirinya sendiri (self referential). Lakon “烊值 (Ambang Lebur)”, misalnya, menceritakan bagaimana tokoh menuliskan lakon yang sedang berlangsung—sehingga membuat struktur lakon dalam lakon. Sebagian naskah juga secara langsung mengaitkan lakon dengan pengarangnya (semibiografis), atau membangun tema melalui struktur eksperimental, seperti lakon tanpa dialog “The Lesson of Silence (Sekolah Sunyi)”.

Mengikuti struktur yang semirealis, tetapi pada saat yang sama eksperimental, latar yang diuraikan dalam petunjuk pementasan cenderung kompleks dalam menghadirkan lingkungan sosial dan dunia yang melingkupi tokoh-tokohnya. Salah satu contohnya adalah latar lakon “The Lesson of Silence (Sekolah Sunyi)”:

Sebuah perkampungan modern/kompleks perumahan kecil yang terdiri dari beberapa rumah kecil dan jalan yang menghubungkan rumah-rumah itu ke toko kain, supermarket, sekolah swasta, sekolah negeri, dan rumah Guru Kursus Bahasa Inggris. Jalan kecil itu akan menjadi lapangan untuk permainan bulu tangkis jalanan. Bangunan-bangunan ini dapat dibuat seperti struktur kecil yang memperlihatkan aktivitas di dalamnya, atau dapat juga hanya digambar seperti garis-garis peta dan denah di atas panggung.

Perubahan latar dari satu adegan ke adegan lain yang menyangkut berbagai lokasi tersebut, area bulu tangkis, sekolah, rumah berbagai tokoh yang berbeda-beda, memberi tantangan sendiri bagi yang bertugas mendesain tata panggung. Tambahan pula, lakon-lakon Agnes Christina menghadirkan waktu yang bersifat diakronis, karena terjadi kilas balik dari masa kini ke masa lalu—bahkan sejarah migrasi nenek moyang. Keleluasan imajinasi latar juga terlihat di lakon “Elope (Kawin Lari)” yang dirancang untuk dijadikan buku komik. Karena tokoh laki-laki dan perempuan melarikan diri digambarkan melarikan diri melalui sebuah hutan, latar berganti sesuai gerak para tokoh, seperti ketika mereka melewati sungai, dan memanjat tebing. Di era digital saat ini, saya membayangkan bahwa layar multimedia dapat menjadi salah satu siasat menghidupkan konteks ruang dan waktu yang bergerak dalam lakon-lakon di atas.

Lakon-lakon ini dapat dibayangkan ditujukan pada penonton anak muda urban di perkotaan. Dialog para tokoh disampaikan dalam bahasa Indonesia yang “gaul” dan kosmopolitan, dengan campuran bahasa Inggris di sana- sini, seperti ketika anak perempuan dalam “Elope (Kawin Lari)” memberi komentar kepada orang tuanya, “Kalian bener-bener shallow!”

Percakapan dua orang teman-wanita dalam lakon “烊值 (Ambang Lebur)” menunjukkan milieu kelas menengah berpendidikan di ruang urban (Jakarta?) dengan panggilan “gue-elu”, istilah asing (cross-racial adaptation), dan acuan pada sosok yang diangkat media global (Angelina Jolie):

Wanita 1: Bukannya sering banget kejadian kayak gini? Cross-racial adoption di Amerika banyak banget. Liat tuh Angelina Jolie ….

Wanita 2: Masalahnya, elu bukan Angelina Jolie, dan elu tinggalnya di Indonesia. Tetangga lu pasti akan mulai komentar-komentar yang aneh-aneh, apalagi elu belum nikah …. Nanti anak lu kesian, gak?


Meskipun secara umum ada kesamaan dalam gaya dan struktur, keempat lakon ini membangun kisah, tema dan nuansa yang berbeda-beda. Berikut adalah pembahasan sejumlah tema yang diangkat dalam antologi ini.

Kekerasan 1998
Lakon yang paling berat untuk dibaca, setidaknya untuk saya, adalah lakon yang berjudul “The Lesson of Silence (Sekolah Sunyi)”. Lakon ini nyaris tanpa dialog untuk menggambarkan dua lapis kebungkaman: “kebungkaman warga keturunan Cina di Indonesia agar mereka tetap hidup; juga kebungkaman dari warga nonketurunan Cina di Indonesia yang menganggap seakan-akan kerusuhan itu tidak pernah terjadi.” Keseluruhan tokoh berjumlah 16 orang, dengan tokoh utama seorang anak perempuan keturunan Cina berusia 11 tahun dan ayahnya. Selain sejumlah tokoh yang dengan identitas “keturunan Tionghoa”, ada sejumlah tokoh yang disebut dengan generik sebagai Leaki 1, 2, dan 3 berikut identitas sebagai “Indonesia” berusia 10–15 tahun, dan tiga Pria (1, 2, 3) dengan identitas “Indonesia” berusia 30–35 tahun.

Ada dua hal yang mengusik sejak deskripsi tokoh. Yang pertama adalah dikotomi antara “keturunan Cina” dan “Indonesia”. Dikotomi ini secara tidak langsung mengasumsikan bahwa keturunan Cina bukan Indonesia, padahal keturunan Cina adalah identitas berbasis etnis, sedangkan Indonesia adalah negara. Di lain pihak, Pria yang beridentitas Indonesia, tidak jelas etnisnya—tetapi asumsinya pasti bukan keturunan Cina, dan kemungkinan besar “Indonesia” dalam hal ini bermakna “pribumi”. Konstruksi semacam ini memang merupakan warisan kolonial yang melekat pada struktur Orde Baru—era yang menjadi konteks lakon ini. Pada masa kolonial, keturunan Cina, Arab, India, Jepang disebut sebagai Timur Asing dan diposisikan secara hierarkis sebagai kelompok di bawah Eropa, di atas “pribumi”. Padahal, dalam berbagai sumber sejarah, keturunan Cina telah berproses menjadi bagian dari budaya Nusantara bahkan sebelum abad ke-14.

Hal kedua yang mengusik adalah penyandingan tokoh utama, yakni “perempuan keturunan Cina” yang remaja dengan tiga Pria (Indonesia, usia 30–35 tahun). Bagi perempuan Tionghoa yang mengalami 1998, penyandingan ini langsung membangkitkan trauma dan hantu-hantu kekerasan di luar batas kemanusiaan yang terjadi dalam perkosaan massal pada pertengahan Mei 1998. Lakon ini menyentuh kembali luka lama—yang ternyata masih menganga. Adegan anak perempuan disentuh buah dadanya oleh pengendara motor yang lewat, dan terpapar Pria Setengah Tersembunyi (seorang eksibisionis)—sudah cukup mengindikasikan objektifikasi perempuan, yang pada momen kekerasan bulan Mei ditujukan pada tubuh perempuan keturunan Cina.

Lakon tidak menghadirkan momen-momen kekerasan lain—selain adegan penjarahan. Sebagai gantinya, yang ditampilkan adalah black out, penggelapan total seluruh panggung dengan tampilan di layar: ”Saya tidak ingat apa yang terjadi selanjutnya,” atau “Saya tidak ingat bagaimana saya ….” Teknik penggelapan secara efektif membuka ruang ingatan penonton yang sangat beragam terhadap peristiwa Mei, dan sekaligus menyimbolkan represi—baik secara psikologis maupun secara politis—peristiwa traumatis dalam ingatan individu maupun dalam ingatan kolektif bangsa Indonesia.

Menarik untuk melihat bagaimana konstruksi politis terhadap “keturunan Cina” dalam lakon ini dikukuhkan dan sekaligus digoyahkan. Hantu kekerasan yang diwakili oleh sosok Pria (Indonesia) berusia 30–35 tahun diimbangi oleh peran Lelaki 1, 2, 3, baik dalam usia remaja (10–15 tahun) maupun dalam sosok yang lebih dewasa di akhir lakon. Ketiga lelaki ini digambarkan berelasi sebagai kawan bermain bulutangkis di masa kecil tokoh utama, dan kelak dipekerjakan sebagai karyawan bisnis ayah tokoh utama. Relasi digambarkan akrab dan saling peduli. Meskipun demikian, kesenjangan kelas sosial antara tokoh utama dan ayahnya, dengan ketiga anak laki-laki tetangga ini digambarkan sangat jelas. Segregasi berbasis kelas sosial yang beririsan dengan etnisitas juga terlihat dari ruang pendidikan. Ketiga bocah laki-laki bersekolah di sekolah negeri, sedangkan perempuan keturunan Cina bersekolah di sekolah swasta. Relasi harmonis antartokoh dari kelas yang memberi sedekah dan pekerjaan serta yang menerima sedekah dan pekerjaan menutup lakon, tetapi justru membuka ruang-ruang reflektif akan rapuhnya konstruksi yang tidak egalitarian semacam ini.

Memasak Bakpao, Membongkar Stereotip
Jika pada lakon-lakon sebelumnya masih kental terasa konstruksi identitas “keturunan Cina” warisan Orde baru, lakon yang berjudul “烊值 (Ambang Lebur)” mengurai stereotip untuk dikritisi. Lakon ini lebih pas diberi judul “Bakpao” atau “Pada Sebuah Bakpao”, mengingat pentingnya bakpao—sebagai pengikat cerita. Meskipun begitu, judul “烊值 (Ambang Lebur)” bersifat filosofis dan mengacu pada pesan yang disampaikan lakon ini. Judul itu berasal dari kata yáng zhí, terdiri dari yáng yang berarti “meleleh, melebur”, dan “zhí artinya value, prinsip, nilai hidup”. Judul ini mengacu pada harapan atas anak (Tionghoa) yang diadopsi oleh seorang perempuan non-Tionghoa. Tokoh utama (Wanita 1) memberikan nama untuk anak tersebut kepada Wanita 2, teman yang mengadopsi bayi dengan pesan sebagai berikut:

…. anak lu akan menjadi hasil peleburan berbagai macam nilai kehidupan dari sekitarnya. Yáng zhí, kalau digabung, artinya threshold, karena anak lu adalah batas yang harus elu lewatin untuk memberikan hidup normal tanpa diskriminasi ke dia sendiri.

Percakapan di atas dilakukan dalam interaksi kedua wanita itu ketika membuat “bakpao rasa sereh” simbolisasi dari tradisi kuliner Cina dengan rasa lokal. Dialog antara kedua teman itu cair dan santai, mengalir dalam bahasa gaul kelas menengah yang bernuansa gado-gado kosmopolitan. Tanya jawab kedua teman perempuan Tionghoa dan non-Tionghoa itu mengulik berbagai stereotip tentang Tionghoa sebagai sosok yang “dididik untuk sukses dalam bisnis”, “anak Cina pasti pinter matematika”, dan seterusnya. Yang ikut terbongkar adalah isu diskriminasi:

Wanita 2: Ya, kan, Cina itu gak cuma sekedar sukses …. Ada banyak aspek lain …. Makanannya, tradisinya … diskriminasinya, kerusuhannya ….

Wanita 1: Ambil yang baiknya aja, dong …. Gak mau, ah, diskriminasi sama kerusuhannya.

Wanita 2: Kalau di Indonesia, gak bisa itu …. Udah satu paket all-in. HAHAHA.

Pada akhirnya, kedua teman itu menyadari bahwa kegelisahan akan identitas akan menghambat, karena itu perlu upaya untuk melintasinya:

Wanita 2: MAKANYA ITU! Lu gak pernah mempermasalahkan ras gue, agama gue, kerjaan gue, baju gue, semua- muanya tentang gue, terus sekarang kenapa elu jadi repot banget sama ras anak lu? Kalau dari dulu gue peduliin pendapat orang sama ras gue, gue gak akan bisa ngapa-ngapain. Gue gak akan bisa kerja di dunia teater, gak akan bisa hidup di Indonesia, bahkan gak akan bisa temenan sama elu. Apa, sih, ras? Cuma sekedar fakta doang. Udah gak bisa lu apa-apain.

Lakon ini disela dramatisasi tiga adegan yang terjadi dalam pikiran Wanita 1, yakni di adegan 2, 4, dan 6. Adegan 2 menunjukkan dialog tokoh Wanita 1 ketika kecil dengan ibunya tentang migrasi nenek moyangnya dari Cina ke Indonesia. Adegan 4 menghadirkan tokoh Ibu, Engkong (kakek dari Ibu), dan tokoh wanita dalam posisi anak ketika mengunjungi Engkong untuk bersembahyang di altar penghormatan untuk orang tua.

Jika dialog kedua wanita membongkar stereotip tentang orang Tionghoa, adegan selingan ini menyorot posisi perempuan dalam budaya patriarki keluarga Tionghoa. Dari ibunya, anak perempuan mendengar cerita bagaimana neneknya “dijual” oleh ibunya sendiri ke keluarga kakek yang kaya raya. Diceritakan kesedihan neneknya karena mengetahui bahwa ibu kandungnya merasa “jijik” kepadanya. Walau tak disebutkan alasannya, dapat diperkirakan bahwa dalam tradisi patrilineal yang sangat ketat, kelahiran anak perempuan tidak diharapkan. Dalam adegan 4, sekali lagi, sejarah keluarga Wanita 1 mencatat kekerasan terhadap anak perempuan. Diceritakan bagaimana dalam persiapan bermigrasi dari Cina daratan ke Indonesia, kakak perempuan Engkong (kakek) disuruh pergi untuk membeli bakpao, tetapi kemudian perahu berlayar meninggalkannya sendiri di pelabuhan. Jika di adegan 2 anak perempuan dijual oleh ibu kandungnya sendiri, di adegan 4 anak perempuan dibuang begitu saja oleh keluarganya. Sekali lagi, ada “bakpao” yang berperan dalam cerita, kali ini bukan merajut relasi yang hangat, tetapi ingatan yang tragis. Diceritakan bagaimana keluarga Engkong memandang kakak yang ditinggalkan itu dari perahu yang berlayar.

Adegan penyeling, adegan 6, menyorot refleksi kritis Wanita 2 atas mana “sukses”. Di adegan ini, konstruksi sosial tentang “sukses” giliran dibongkar untuk melihat bagaimana Wanita 2 bernegosiasi dengan berbagai konstruksi sosial dari keluarga dan masyarakat, untuk pada akhirnya memenuhi panggilan dirinya sendiri sebagai seorang seniman.

Secara keseluruhan, lakon “烊值 (Ambang Lebur)” ini menunjukkan bagaimana konstruksi sosial yang bernuansa patriarkis dan berbasis materi terbangun dari dalam dan luar kelompok. Di sini stereotip keturunan Cina sebagai korban dibuat menjadi kompleks karena budaya patriarki yang menghalalkan penindasan sistemik terhadap perempuan dapat terjadi di lingkungan mana saja. (Bahkan, kekerasan berbasis kelas secara tak langsung diceritakan melalui tradisi membakar rumah-rumahan dalam acara menghormati nenek moyang. Secara datar diceritakan bagaimana boneka pembantu dari kertas ditusuk tangan kakinya agar “tidak melarikan diri” di alam baka.) Lakon ini menunjukkan bahwa tatanan patriarki dan kekerasan sistemik dapat didukung oleh siapa saja, termasuk perempuan. Sebaliknya, dalam adegan 4, ditunjukkan sosok laki-laki yang nonpatriarkis: Engkong yang kehilangan kakak perempuannya karena tindakan ayahnya, tak segan melakukan kerja domestik dan menghargai anak perempuannya.

Tantangan Perjuangan Antidiskriminasi
Dua lakon terakhir secara tematis merangkum tema yang diangkat oleh keseluruhan buku ini, yakni tantangan dalam memperjuangkan untuk menghentikan diskriminasi. Gambaran yang lebih muram atas beratnya tantangan itu diwakili oleh “Elope (Kawin Lari)”.

“Elope (Kawin Lari)” menyandingkan secara selang-se- ling “peristiwa kawin lari” sepasang kekasih dengan latar belakang kehidupan keluarga dari budaya Cina dan Jawa, yang sama-sama menolak kawin campur. Mosaik selang- seling dirakit secara lebih simbolik. Kesulitan yang dihadapi pasangan diibaratkan tebing yang harus mereka panjat. Penolakan dari masyarakat disimbolkan dengan lemparan-lemparan batu yang tak jelas dari mana datangnya. Contoh pasangan kawin lari lain ditampilkan melalui pasangan pemanjat tebing pendahulu yang jatuh ke jurang. Adegan masa kecil dalam keluarga masing-masing tokoh juga diwarnai oleh simbol, seperti pecahnya patung perempuan penjaga hoki, dan pembalikan kurungan dalam upacara tedhak siten oleh balita laki-laki.

Berbeda dengan “Elope (Kawin Lari)”, lakon terakhir, “Kewargamanggaaan” bernuansa humor dan menyajikan “protes” terhadap diskriminasi dengan ringan dan simbolis. Tokoh dalam lakon ini adalah buah mangga dari jenis yang berbeda-beda: Arum Manis, Kweni, dan Pakel, yang berdebat untuk mempertahankan posisi “ideologis” masing-masing. Arum Manis mempertahankan “keaslian” dan posisinya sebagai buah berkualitas superior. Arum Manis merendahkan dan meliyankan Pakel sebagai buah yang tidak jelas identitasnya. Sebaliknya, Pakel menuntut kesamaan hak sebagai sesama spesies buah mangga, dan bahkan kesamaan dalam satu keluarga besar tumbuhan yang disebut Anacardiaceae. Kweni bertindak sebagai mediator—penengah, yang tidak jelas posisinya. Lakon ini menyampaikan kritik atas rasisme dengan cara yang segar, mudah dipahami dan tidak menggurui—sehingga dapat dimainkan oleh dan untuk anak-anak. Pada akhirnya, lakon ini menggarisbawahi tema kemanusiaan yang sangat kuat dilantangkan oleh antologi lakon ini.

Melalui antologi naskah ini, Agnes Christina masuk dalam deretan perempuan penulis lakon di berbagai belahan dunia yang menggugat diskriminasi dan kekerasan, khususnya terhadap perempuan. Satu drama yang diterjemahkan ke seluruh dunia adalah karya Eve Ensler berjudul Vagina Monologue (1994). Di Indonesia, kita mengenal Ratna Sarumpaet, dan Cok Savitri, juga Tentrem Lestari dengan lakonnya Balada Sumarah (2008), dan Imas Sobariah yang mendirikan Teater Satu Lampung. Seperti pengantar lakon “烊值 (Ambang Lebur)” yang dikutip di awal pengantar ini, Agnes Christina menambah deretan nama ini melalui kontribusi langka seorang perempuan Tionghoa yang merefleksikan lapis-lapis persoalan identitas melalui antologi Forbearance/Utang Emosi.

Judul Inggris/Indonesia ini—maupun berbagai aspek dalam lakon-lakonnya—membuka ruang diskusi lebih lanjut. Emosi apa dan siapakah yang terutang dan siapa yang perlu membayarnya? Apakah lakon ini menyalurkan represi traumatik—agar diproses menjadi suatu penyadaran bersama? Silakan memanen refleksi sambil menikmati lakon ini, dan siapa tahu, ikut berpartisipasi mewujudkannya dalam pementasan. ◆