Laboratorium Pengultusan 19
Pengantar Hal-19: Hyperlink: 21 Lakon LaboLakon 2024
hal
1. n keadaan; peristiwa; kejadian
2. n perkara, urusan, soal; masalah
3. n sebab
4. n tentang; mengenai
hal.
n sing halaman (buku)
Covid-19
n akr coronavirus disease 2019 (penyakit koronavirus 2019)
Selama Covid-19 melanda, angka 19 jadi lebih sering mengunjungi—lalu menghuni dengan lebih lama—ruang numerik dan tekstual dalam keseharian kita dibanding masa sebelumnya. Padahal, angka ini—yang dipersingkat dari 2019—hanya penanda sekuens dari sistem perhitungan waktu yang kita gunakan secara global sekarang, yang kemudian digunakan untuk menandai permulaan suatu wabah. Kita menerimanya sebagai sebuah penanda karena kita—sebagai masyarakat global—telah sepakat hidup dalam dan berkiblat pada satu sistem bersama: kalender masehi. Seandainya kalender masehi tidak menggunakan kelahiran Yesus sebagai tahun pertama, mungkin angka lain akan disematkan pada nama wabah ini, alih-alih 19. Demikian pula seandainya dunia menyepakati sistem kalender lain, alih-alih kalender masehi.
Begitulah, pada masa Covid-19, barangkali untuk mengelak dari kegamangan akan kesakitan dan kematian, saya jadi banyak berandai-andai dengan angka 19 ini. Ia dengan cukup intens menjadi pusat simulasi probabilitas dalam kepala saya, hingga sampailah saya pada sebuah pengandaian sederhana: andai dunia atau sistem kalender ini adalah sebuah buku. Maka, nomor-nomor halaman dalam buku itu adalah angka tanggal atau bulan atau tahun. Maka, teks-teks di setiap halamannya adalah lini masa peristiwa, narasi sejarah, riwayat kehidupan, alur nasib, tuturan dunia, risalah ilmu, ayat filsafat, pasal hukum, bait mantra, larik nujum, bla, bla, bla .... Lalu, ada apakah di halaman 19-nya?
Seperti makhluk yang otaknya dikendalikan oleh virus tertentu, saya mulai mengambil satu buku secara acak dari rak buku, membaca halaman 19-nya saja, lalu meraih buku lain, membaca halaman 19-nya saja, lalu buku lain lagi, terus ... hingga puluhan halaman 19. Virus yang menguasai otak saya mulai membimbing saya untuk memosisikan halaman 19 sebagai teks yang mandiri, yang berbicara tentang dirinya sendiri, tanpa punya relasi dengan halaman-halaman lain sebelum atau sesudahnya. Saya membayangkan diri sebagai se-orang epigrafer yang mencoba membaca keutuhan teks dari prasasti- prasasti yang sudah compang-camping atau beberapa aksaranya sudah aus dan tak terbaca. Mencoba mengutuhkan sesuatu yang tak utuh. Bukankah selalu demikian kita memaknai diri atau kehidupan atau dunia kita ini? Saya merasa masuk ke dalam sebuah ritual pengultusan angka 19—dan barangkali mulai ekstase.
Bagaimana kalau saya menggabungkan beberapa halaman 19 dari buku yang berbeda, lalu memosisikan mereka sebagai satu kesatuan yang utuh? Dan, wow, permainannya jadi semakin menantang. Teks dari satu halaman 19 berkelindan dengan teks dari halaman 19 yang lain. Mereka seperti barisan semut yang membuat koloni baru dengan barisan yang lain. Teks-teks yang parsial itu membentuk teks-teks baru. Membaca teks-teks baru itu adalah membaca dunia baru yang tak pernah terbayangkan ada sebelumnya: segala referensi jadi kabur, segala konteks menguap.
“Hal-19” sebagai Platform Performatif
Saat pandemi mulai mereda, saya mulai mencoba menerapkan simulasi ini untuk menciptakan pertunjukan. Kali ini, saya tidak mau memulai simulasi dengan buku-buku yang acak; saya mulai eklektik. Pandemi juga membuat saya berpikir tentang identitas diri dalam kehidupan global karena koneksi globallah yang membuat SARS-CoV-2 menjajah tubuh kita. Entah mengapa, hal ini mengarahkan saya berpikir tentang para indonesianis yang karya-karya mereka sering kita gunakan untuk mengidentifikasi diri kita sebagai orang Indonesia. Mulailah saya memilih beberapa buku karya para indonesianis yang ada di rak buku saya. Pilihan jatuh pada lima buku, semuanya edisi terjemahan bahasa Indonesia: M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200–2008; Clifford Geertz, Negara Teater; Claire Holt, Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia; Alfred Russel Wallace, Kepulauan Nusantara: Kisah Perjalanan, Kajian Manusia dan Alam; dan Simon Winchester, Krakatoa: Saat Dunia Meledak; 27 Agustus 1883. Bersama Kalanari Theatre Movement, simulasi terhadap halaman 19 dari kelima buku tersebut melahirkan pertunjukan Hal-19 yang dipresentasikan secara daring langsung (live) dalam Road to Djakarta International Theater Platform, 15 September 2021.
![]() |
Hal-19, Road to Djakarta International Theater Platform, daring langsung (live), 15 September 2021. | Foto: Dok. Kalanari Theatre Movement |
Pada tahun yang sama, ketika diundang oleh Festival Seni Bali Jani III, saya bersama Kalanari ingin melanjutkan simulasi ini dengan halaman 19 dari sembilan buku tentang Bali karya para indonesianis: Miguel Covarrubias, Island of Bali; Beryl de Zoete & Walter Spies, Dance and Drama in Bali; David J. Stuart-Fox, Pura Besakih: Pura, Agama dan Masyarakat Bali; Adrian Vickers, Bali Tempo Doeloe; Willard A. Hanna, Bali Chronicles: Fascinating People and Events in Balinese History; Henk Schulte Nordholt, Bali: Benteng Terbuka 1995–2005; Geoffrey Robinson, Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik; serta Michel Picard, Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata dan Kebalian: Konstruksi Dialogis Identitas Bali. Pertunjukannya berjudul Hal-19: Bali, dipentaskan di Taman Budaya Provinsi Bali, 1 November 2021.
![]() |
Hal-19: Bali, Festival Seni Bali Jani III, Taman Budaya Provinsi Bali, 1 November 2021. | Foto: Dwi Kresnantaka/Kalanari Theatre Movement |
Terakhir, saya ingin bermain-main dengan satu buku saja, dan pilihannya jatuh (kembali) pada Sejarah Indonesia Modern 1200–2008 karya M.C. Ricklefs. Simulasi ini melahirkan pertunjukan Hal-19: Wajah Pecah Sejarah Indonesia Modern, dipentaskan di ISI Yogyakarta, 17–19 September 2022, sebanyak enam kali pertunjukan, dan hanya bisa ditonton oleh 19 penonton per pertunjukan. Dengan merespons dan merefleksikan laku temu daring yang kian jamak pada masa pandemi, pertunjukan ini berlangsung di belakang punggung para penonton, dan mereka hanya bisa menyaksikan pertunjukan melalui cermin pecah-pecah berukuran sekitar 25 cm x 40 cm yang menggantung di depan mereka.
![]() |
Hal-19: Wajah Pecah Sejarah Indonesia Modern, ISI Yogyakarta, 17–19 September 2022. | Foto: Inashifa Gardani/Kalanari Theatre Movement |
“Hal-19” (+ Hyperlink) sebagai Platform Penulisan
Setelah simulasi melalui platform pertunjukan, saya ingin menjajal simulasi ini melalui platform penulisan. Walaupun kerja penulisan—yang saya lakukan bersama para aktor—sudah terjadi dalam proses penciptaan ketiga pertunjukan di atas, saya ingin berbagi gagasan ini dan mengajak beberapa penulis untuk menguji coba sekaligus mengkritisinya dalam sebuah laboratorium penulisan. Dan saya kira, LaboLakon—sebuah platform laboratorium penulisan lakon yang diinisiasi Kalabuku sejak 2021—adalah ruang yang pas untuk menjajalnya.
Namun, “Hal-19” sebagai sebuah gagasan tidaklah cukup untuk diaplikasikan dalam platform laboratorium penulisan. Dia hanya sebuah simulasi untuk menemukan teks sumber, tetapi tidak memiliki perangkat atau metode untuk menjelajahi dan mengolah teks sumber. Untuk itu, dalam LaboLakon 2024, saya menawarkan hyperlink, sebuah metode jelajah dan olah teks yang saya gunakan—secara longgar—dalam penulisan lakon teater beberapa tahun terakhir.
Hyperlink (hipertaut/pranala)—sebagaimana kita ketahui bersama, sebagai umat internet—adalah hubungan suatu elemen (kata, simbol, gambar, atau lainnya) dalam satu dokumen dengan dokumen yang sama atau berbeda. Hyperlink juga bisa disebut sebagai acuan dalam satu dokumen ke dokumen yang lain. Satu elemen dalam satu teks bisa bertaut dengan suatu teks di luarnya. Hubungan antara keduanya bisa sangat dekat, bisa sangat jauh—atau malah seperti tak berhubungan sama sekali. Jika kita mengeklik satu kata ber-hyperlink dalam suatu teks (narasi), kita akan terhubung dengan narasi lain yang bisa jadi jarak narasinya terpaut jauh. Saya mengasumsikan hyperlink ini sebagai roket untuk menuju semesta lain: sebuah mesin ruang-waktu atau mesin transtekstual.
Perpaduan antara gagasan halaman 19 dan metode hyperlink kemudian saya tawarkan sebagai tema—dengan demikian, sekaligus gagasan dan metode yang dioperasikan dalam—laboratorium: “Hal-19: Hyperlink”. Sebanyak 36 penulis kemudian terlibat dalam LaboLakon 2024 dan berkutat dengan gagasan ini, melalui 120 menit pertemuan setiap minggu selama enam minggu—pertengahan November hingga menjelang akhir Desember 2024.
Di tahap awal, para penulis memilih—kadang secara acak—satu buku dan mengambil halaman 19-nya, lalu mencoba memosisikan halaman tersebut sebagai teks mandiri: konteksnya dicerabut dari keutuhan buku. Kemudian, sebuah simulasi: suatu teks baru ditulis berdasarkan selembar teks tersebut dengan menerapkan modus tertentu ke dalamnya—folklor, sejarah, ilmiah, pidato, surat, jurnalistik, anekdot, grafis, how-to, hukum, sajak, iklan, religius, glosarium, drama, komik, self-help, biografi, ramalan, fantasi, resep, mantra, atau modus-modus lainnya. Modus-modus ini mentransformasi teks halaman 19 menjadi teks baru yang unik; sekaligus memberikan cara pandang yang berbeda—kadang tampak nyeleneh—terhadap suatu teks.
Buku yang lain lalu dipilih, halaman 19-nya dicerabut, dan disandingkan dengan halaman 19 dari buku pilihan pertama. Kedua halaman 19 “dipaksa” untuk memiliki jalinan. Para penulis bekerja keras untuk menemukan atau merekayasa jalinan keduanya. Bagaimana mereka melakukannya dapat dibaca pada pengantar masing-masing lakon dalam buku ini—termasuk bagaimana mereka menjelajahi kedua halaman 19 tersebut beserta jalinan antarkedunya dengan metode hyperlink.
Hyperlink adalah sebuah metode jelajah dan olah teks yang—berangkat dari satu elemen dalam teks sumber—bisa melontarkan penulis keluar dari teks sumber dalam sekejap mata dan mendarat di sebuah dunia teks yang baru sama sekali. Dan, dari teks baru itu, hyperlink bisa melontarkan lagi penulis ke teks baru yang lain. Begitu seterusnya. Hyperlink menjadi penghubung antarteks/antarnarasi yang melampaui struktur (ruang, waktu, konteks), pembuka jalur-jalur baru yang tak bisa dipetakan oleh struktur baku (asosiatif, nonlinier, fragmentatif, nonkronologis), sekaligus alat navigasi teks yang menyesatkan. Penjelajahan dengan hyperlink bisa menjadi infinitas. Penulis membutuhkan pemberlakuan batas jelajah tertentu untuk menghentikannya jika tak mau tersesat.
Penjelajahan tekstual melalui hyperlink dalam LaboLakon 2024 adalah penjelajahan untuk mencapai sebuah discovery berupa—apa yang saya sebut sebagai—peta kemungkinan/potensi performatif. Peta ini merupakan hasil pengumpulan secara eklektik berbagai potensi performatif (bisa pula dipilah dan dibedakan lagi menjadi potensi performatif, teatrikal, spektakel, naratif, keruangan, perwatakan, visual, aural, dll.) yang didapatkan setelah melakukan jelajahan tekstual. Peta ini bisa berupa kumpulan data, sketsa, deskripsi, narasi, imaji, atau apa pun. Berdasarkan peta ini, penulis bisa bergerak lebih lanjut untuk menulis draf awal naskah lakon.
Dalam hipotesis saya, lakon-lakon yang lahir dari gagasan dan metode ini adalah teks-teks yang paradigma performativitasnya berlapis/jamak; jarak narasi antarelemennya beragam, tetapi tetap dikait oleh acuan-acuan tertentu; nonlinier, multigaris, hibrida, atau berupa puzzle narasi; bergerak melalui interupsi demi interupsi ruang, waktu, dan konteks; gergelimang percabangan, pengulangan, atau ambiguitas; atau kembali menggunakan hyperlink sebagai logika tekstual. Sebagaimana bisa dibaca dalam buku ini, lakon-lakon yang dilahirkan para penulis sebagian masuk—atau setidaknya mampir—ke ruang hipotesis saya, sebagian lagi bergerak di luar ekspektasi saya. Dan keduanya sangat menggembirakan.
21 Lakon LaboLakon 2024
Setidaknya, sebanyak 30 dari 36 penulis berhasil merampungkan target penulisan sampai pada batas waktu yang ditentukan. LaboLakon 2024 sebenarnya hanya menargetkan penulisan lakon pendek yang jika dipanggungkan akan berdurasi 30–40 menit. Namun, beberapa penulis rupanya kebablasan—atau kurang puas menulis lakon pendek—sehingga mereka menulis lakon berdurasi satu jam, bahkan lebih.
Untuk membaca lakon-lakon yang terkumpul, saya memerlukan tatapan orang lain. Saya kemudian meminta Agnes Christina (penulis lakon dan seniman multidisiplin) dan Andika Ananda (aktor dan pekerja seni pemberdayaan) untuk membaca dan meng-kurasi lakon-lakon tersebut. Mereka berdua sama sekali tidak terlibat di laboratorium sehingga mereka membaca dan meng-kurasi lakon-lakon melalui tatapan tekstual personal mereka masing-masing.
Kurasi berlangsung dalam dua tahap. Tahap pertama memilih beberapa lakon dan memberi kesempatan terhadap beberapa lakon lainnya untuk mengikuti kurasi tahap kedua dengan catatan-catatan untuk pengembangan. Kedua tahap kurasi tersebutlah yang kemudian menjaring 21 lakon dalam buku ini, sebuah buku yang lahir dari simulasi akut yang mengultuskan angka 19. •
Ibed S. Yuga
Penyunting dan Fasilitator LaboLakon 2024