Catatan Editor “Teks-Cacat di Luar Tubuh Aktor”

Buat apa naskah teater diterbitkan untuk khalayak ramai? Apalagi sebelumnya ia ditulis khusus untuk sebuah produksi pertunjukan. Apalagi ia ditulis bertahun-tahun lalu. Apalagi ia ditulis oleh Afrizal Malna! Terlalu banyak noise, tampaknya. 


Tentu oke jika alasannya adalah pendokumentasian, hal yang sering kacau balau pada banyak pelaku teater Indonesia. Tapi di masa kini, produksi dan pertumbuhan teks dalam keseharian begitu bagas, selalu bergegas, dan serba harus di-upgrade. Daur ulang teks mewabah dan jadi praktik kreatif kekinian yang menisbikan ibu-teks. Masihkah kerja mendokumentasikan, menjaga rapi jejak-jejak masa lalu, mampu merebut makna? Tidakkah ia hanya seperti memelihara komputer berspesifikasi lawas—yang software dan hardware-nya sudah tak beredar di pasaran—sekadar untuk menjaganya tetap bisa menyala? Apa yang bisa dilakukan padanya? Merawatnya sambil menunggu jadi lebih lawas lagi, sehingga cukup mahal di pasar barang antik? 

Bahkan, ketika buku ini menjelang naik cetak, Afrizal Malna sendiri masih ragu, “Aku tetap masih bertanya, apa artinya teks teater yang kutulis, ketika dia sungguh-sungguh dibiarkan hadir sebagai medium tulisan?” Ya, masing-masing naskah dalam buku ini ditulis khusus oleh Afrizal untuk sebuah pertunjukan. Mereka adalah naskah-naskah “dalam rangka” yang bisa dikatakan tak lahir sebagai ide tunggal embrio pertunjukan. Mereka muncul bersama ide-ide lain dalam sebuah kolektif elemen kreatif panggung. Mereka lahir dalam tubuh-teks-utuh masing-masing. Mereka berkecam-bah secara tak mandiri. Dan kini, mereka “dipaksa” untuk mandiri sebagai teks, disempal begitu saja dari sejarah tubuh-utuh masing-masing, dibetot dari biografi penciptaannya yang kompleks. Begitulah, dalam buku ini, kehadiran mereka adalah sebentuk “kecacatan”.

Bisakah naskah-naskah ini mandiri sebagai teks? Dengan paradigma pembacaan teks tepat, tentu saja bisa! Bahkan dalam sifat dokumentatifnya yang kental sekalipun. Sebab pada dasarnya, segala yang mengada dalam pertunjukan adalah sublimasi teks. Aktor, akting, seting, properti, kata, kostum, lantai, cahaya, keringat, ba-kan penonton..., semuanya adalah teks; yang artinya, semua bisa mandiri sebagai teks. Tak ada perwujudan di atas panggung yang muncul dari kenisbian teks. Bahkan panggung kosong melompong sekalipun tak bebas dari kontaminasi teks. Teks adalah ejawantah dari dunia ide, yang diejawantahkan lagi jadi dunia terindera di panggung. Naskah adalah teks yang (dicoba!) ditulis. Dicoba, karena pada dasarnya ide tidak bisa diejawantahkan secara utuh ke dalam bentuk tulisan. Ide yang sebenarnya, dunia ideal itu, tetaplah ada dalam diri subjek. 

Bagaimana cara membaca teks-teks dalam buku ini, yang oleh penulisnya dilabeli “naskah teater”? Apakah mereka bisa dipang-gungkan (kembali)?

Afrizal membagi naskah-naskah dalam buku ini dalam dua dan tiga kategori sekaligus. Naskah-naskah saduran dikelompokkan dalam apa yang disebutnya sebagai “Reperformance”, sedang yang nonsaduran dalam “Performance”. Bagian “Performance” dibedakan antara yang ditulis pada masa Orde Baru dan yang setelahnya. Afrizal dan Teater Sae kita kenal sebagai sebentuk estetika teks panggung yang dengan sadar membenturkan diri dengan Orde Baru. Tanpa Orde Baru, mereka mungkin telah tumbuh dalam bentuk yang lain. 

Bagi para pegiat teater yang terbiasa dengan bentuk konvensional teks lakon teater atau naskah drama, sebaiknya enyahkan dulu cekokan bentuk itu dari kepala. Syukur, jika bisa mengekstraknya menjadi teks murni, teks yang hanya berbicara tentang dirinya sendiri, untuk siapa saja yang berkenan membacanya; bukan teks yang berbicara untuk/via panggung, bukan teks yang casing-nya sudah dirancang pas dengan bentuk panggung. Jika cekokan bentuk konvensional itu masih dipertahankan ketika membaca teks-teks dalam buku ini (kecuali pada bagian “Reperformance”), maka bersiaplah untuk terlempar-mental ke mana-mana, atau malah Anda yang melemparkan buku ini. 

Kalau masih terpaku pada bentuk konvensional naskah teater, yang dicirikan dengan adanya hauptext dan nebentext, maka hanya naskah-naskah di bagian “Reperformance”—yang seluruhnya merupakan saduran—yang masuk dalam kategori naskah lakon teater. Sedangkan naskah-naskah lainnya ditulis dengan bentuk yang spesifik, setiap naskah memiliki bentuknya sendiri. Bahkan, jika masih menganut kategorisasi teks dari segi bentuk (tata letak, topografi, dll.), naskah-naskah Afrizal ini bisa jadi adalah puisi atau cerpen. 

Afrizal dalam naskah-naskahnya mengabaikan sekaligus memuja bentuk. Ia mengabaikan bentuk konvensional naskah lakon; namun dalam bentuknya yang lain, ia sangat memperhatikan bentuk. Pengaturan tata letak, topografi, pilihan huruf besar dan kecil memberikan impresi, konteks dan nilai tertentu. Maka, kerja penyuntingan naskah-naskah ini adalah sebuah latihan memahami dan menjaga bentuk masing-masing naskah yang spesifik. Hampir tak ada perbaikan yang dilakukan, kecuali pada salah ketik, kerapian dan konsistensi bentuk serta diksi masing-masing naskah. Bentuk-bentuk spesifik diakomodasi selagi memungkinkan dalam format buku.

Sebagai teks untuk teater, barangkali teks-teks dalam buku ini bisa juga dibaca sebagai “naskah yang pernah ditulis untuk teater”. Mereka adalah catatan tentang masa lalu yang sesaat, walaupun mereka tak ingin mengabadikan kesesaatan itu. Dalam catatan-catatan ini, di samping jejak sejarah penulisannya, ada juga jejak proses yang melingkupinya. Bahkan dalam Kesibukan Mengamati Batu-Batu di Balik Pintu, jejak proses itu begitu tebalnya, hingga ucapan terima kasih untuk pihak-pihak yang membantu proses pun tertulis. Hal “sepele” semacam ini sering diabaikan sebagai bagian dari teks untuk teater. Jarang disadari bahwa dengan hadirnya “kesepelean” ini pula, sebuah teks kompleks mewujud di atas panggung sebagai pertunjukan. 

Dalam naskah itu Afrizal seakan membuat dinding tembus pandang bagi dapur kepenulisannya, sehingga pembaca bisa melihat bagaimana ia meramu teks pertunjukan dengan gamblang. Dalam proses yang demikian, kita juga dibawa untuk mempertanyakan kembali makna otentisitas atau orisinalitas. Kerja pembangunan naskah Afrizal dalam beberapa bagian adalah kerja daur ulang teks. Bukan hanya dalam naskah-naskah saduran, bahkan pada yang nonsaduran, Afrizal dengan sadar memetik teks-teks yang berkeli-aran di sekitarnya, dan tanpa ragu memasukkannya sebagai bagian dari teksnya. Ia seperti pemetik sayur dan bumbu di kebun maha luas, yang dengan bebas memetik mana saja yang dibutuhkan dapurnya. Puisi beberapa penyair, esai, berita media massa, pernyataan tokoh, bahkan teks proklamasi kemerdekaan dengan leluasa “direbut” oleh Afrizal sebagai bagian dari ruang pernyataannya dalam teks yang ditulisnya. Kerja “perebutan” teks semacam ini, bukankah serupa dengan mengambil batu di kali atau pinggir jalan untuk bahan seting atau properti pertunjukan?

Naskah-naskah Afrizal tidak hadir sebagai naskah teater yang cerewet dengan berbagai petunjuk pemanggungan. Mereka gamblang hadir sebagai murni teks yang bisa masuk ke dalam tubuh mana pun yang berkenan. Bahkan beberapa naskah hanya mewujud sebagai struktur inti pertunjukan, semacam wos dalam kethoprak; hal yang barangkali oleh beberapa pembaca akan dikomentari, “Hah?! Cuman kayak gini?” Dari itu semua, kita juga bisa membaca bagaimana seorang Afrizal Malna menyikapi dunia teater. 

Kembali lagi ke pertanyaan awal, buat apa naskah-naskah ini diterbitkan? Sekadar memelihara dokumentasi berdebu di masa kini yang dilanda badai kencang daur ulang teks? Justru di situlah pentingnya, di tengah badai itu. Naskah-naskah ini hadir sebagai teks-teks yang pasrah didaur ulang; entah di ranah panggung, atau di ruang mana pun yang masih membuka diri untuk masuknya teks-teks dari luar. Sekali lagi, dalam penciptaannya sendiri, naskah-naskah ini adalah biografi daur ulang teks. 

Maka, selamat membaca dan mendaur ulang. 

Ibed Surgana Yuga