Catatan Editor “Metode Kritik Teater”

Benny Yohanes (a.k.a. BenJon) dalam konstelasi teater Indonesia mutakhir adalah sosok seniman “loba”. Betapa tidak. Ia aktor, sutradara, penulis lakon dan kritikus sekaligus. Bahkan, seturut pengakuannya, segala pekerjaan teater sering ia borong: bikin proposal, mendesain poster, skeneri, lampu, properti, menukanginya, menjahit kostum, merias, hingga belanja material pentas. Hampir tak ada peran yang ia lewatkan; seperti sebuah minimarket jasa teater yang serba ada. Gilanya lagi, dia seorang akademisi. Dengan segalanya itu, BenJon adalah salah satu dari segelintir akademisi seni Indonesia yang punya banyak bukti pertanggungjawaban keakademisiannya. Ia bukan hanya sibuk mengedukasi mahasiswanya, atau menongkrongi jabatan struktural, tapi juga menunjukkan tanggung jawab keilmuannya kepada masyarakat dengan berkarya: memproduksi pertunjukan dan menulis. Karya-karya BenJon dikenal unik, nakal, cerdas, subversif, cenderung rumit, penuh dengan idiom kekerasan, seksualitas, kebinatangan dan kejijikan. 


Buku Metode Kritik Teater: Teori, Konsep dan Aplikasi yang sedang pembaca budiman pelototi ini adalah salah satu hasil kepiawaiannya sebagai kritikus dan akademisi. Kalau tidak salah amati, ini adalah buku pertama yang mengulas metode kritik teater secara cukup komprehensif—di samping juga menjadi kritik itu sendiri bagi dunia teater Indonesia. Lagi, sebagaimana ditulisnya dalam pengantar, selama ini belum ada buku kritik teater yang memadukan atau menautkan antara wilayah teori, konsep dan aplikasi kritik. BenJon memulainya lewat buku ini, dan semoga diikuti oleh buku-buku selanjutnya, dari kritikus (dan/atau) akademisi lainnya—yang tak seberapa jumlahnya itu. 

Di tengah kemarau (amat) panjang kritik teater Indonesia, ketika masih mampetnya saluran irigasi karya ilmiah dari kanal-kanal institusi pendidikan seni, saat lembar-lembar skripsi lulusan perguruan tinggi seni melacurkan diri jadi pembungkus nasi kucing, kala seniman teater gagal mencipta juru bicara bagi karya-karyanya sendiri, buku ini diterbitkan dari kenekatan yang nyaris tanpa kapital. Buku ini adalah bagian dari gerakan penerbitan buku-buku teater dan budaya pertunjukan yang dilakukan Kalanari Theatre Movement, melalui Kalabuku. Tanpa kekuatan modal sebagai penerbit, Kalabuku mengundang beberapa penulis teater untuk menerbitkan karya-karya mereka dengan mengesampingkan tujuan jualan, namun lebih pada menyebarluaskan pengetahuan melalui buku—yang sekarang betapa mudah proses penerbitan dan pencetakannya. BenJon adalah penulis pertama yang menanggapi undangan ini, dan dengan cepat mengirimkan naskahnya. Hanya saja penerbitannya kemudian sedikit tertunda karena kendala penyuntingan. 

Membaca buku ini, di samping menelusuri logika unik penulisnya, adalah kembara ke narasi-narasi analitis peristiwa teater Indonesia dengan kelihaian bahasa kritik seorang kritikus akademis yang—mesti diakui—ulung. Lewat narasi-narasi yang tajam namun meluncur licin, BenJon seperti membuat suatu pentas teater baru dari serpih-serpih ingatan akan peristiwa teater yang ia tonton atau baca. Dari sinilah kita kemudian memahami dunia kritik sebagai panggung-pascapanggung bagi pertunjukan-pertunjukan yang telah selesai ditepuktangani penonton. Di panggung-pascapanggung ini, kritikus adalah kepepakan seorang kreator. Ia aktor, sutradara sekaligus penulis lakon bagi pemanggungan narasi-narasinya, tulisan kritiknya. 

Bagi beberapa orang, membaca tulisan dan menonton pertunjukan karya Benjon adalah sama ruwetnya. Ia berjalan di wilayah yang tak dijamah banyak orang, termasuk seniman. Terhadap sesuatu yang mainstream, atau isu yang sedang jadi tren, BenJon cenderung menciptakan narasi berbeda yang subversif. Selera umum baginya adalah normalisasi dari regulasi yang kakubeku. Makanya ia mengakrabi tabu, keanehan, kejijikan dan ketaklaziman. BenJon selalu menampakkan kecenderungan berkelit dari dominasi dan kuasa bahasa formal-normal. Ia seakan emoh memakai kata-kata yang telah disediakan oleh KBBI—yang edisi terbarunya mencapai 2.040 halaman itu. Diksi-diksi BenJon adalah pemberontakan terhadap bahasa baku yang (baginya) beku. 

Ya, menyunting tulisan-tulisan BenJon dalam buku ini adalah pekerjaan berulang kali membolak-balik halaman KBBI, memasti-kan berjubel “diksi aneh” yang dipakainya termaktub dalam kitab suci bahasa Indonesia itu. Dan ritual ini lebih banyak sia-sianya. Sebagian besar diksi bentukan BenJon tak nongol di sana. Ada segelintir yang menampakkan diri dalam bentuk lain, namun dalam makna yang sama. Dalam kasus ini saya terpaksa membakukan diksi-diksi BenJon—dan pasti ia tak menyukainya. Namun lebih banyak yang dibiarkan melenggang begitu saja, meloloskan diri dari pengeditan, menjadi narasi dari keunikan logika penulisnya.

Buku ini disusun dari tulisan-tulisan mandiri yang sebelumnya dibuat untuk kebutuhan dan konteksnya masing-masing. BenJon kemudian merangkainya menjadi kesatuan konteks untuk menuju suatu teks utuh tentang metode kritik teater—walau masih menyisakan celah-celah kecil di beberapa bagian. Proses perangkaian ini dilakukan sendiri oleh BenJon di sela-sela kesibukannya memainkan peran pejabat di ISBI Bandung. Penulis dengan tulisan-tulisan berserak semacam ini biasanya hanya menyerahkan begitu saja serakan itu pada editor, dan tugas editorlah yang merangkainya. Namun tidak demikian halnya dengan BenJon. Di sini editor hanya berperan untuk mengecek apakah hasil perangkaian itu sudah menampakkan keutuhannya, lalu menilik apakah ada duplikasi narasi yang terlalu kasar. Walau sudah melalui proses penyuntingan, harus diakui memang masih ada beberapa duplikasi yang membolos dari amatan. Untuk hal ini, semoga bisa diterima sebagai kesempatan untuk berdehem saat menonton pertunjukan. 

Akhirnya, semoga buku ini bisa menjadi sumbangan kalimat bermakna bagi dunia teater Indonesia, khususnya ranah kritik. 

Ibed Surgana Yuga