10 Lakon Terpilih LeLakon 2020



LeLakon 2020 telah menerima 178 lakon karya 109 penulis dari 19 provinsi di Indonesia. Jumlah ini sangat menggembirakan dan melebihi ekspektasi. Partisipasi para penulis ini secara langsung menunjukkan dukungan sekaligus keterlibatan dalam gerakan menjaring, mendokumentasikan, dan menyebarkan lakon-lakon Indonesia yang dilakukan secara voluntary oleh Kalabuku bersama Kalanari Theatre Movement, Indonesia Dramatic Reading Festival, Kala Teater, Bandung Performing Arts Forum, serta tim kurator.

Sistem kurasi untuk memilih lakon yang akan dibukukan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pembacaan dan pemilihan secara personal oleh masing-masing kurator. Dalam tahap ini, masing-masing kurator memiliki kriteria, pertimbangan, ideologi, serta kecenderungan personal yang subjektif. Kurator Muhammad Abe menekankan pada kriteria pengadeganan dan dialog yang menarik, penawaran isu-isu yang kontekstual atau isu-isu baru, penawaran kebaruan dan keberagaman bentuk, pertimbangan persebaran kewilayahan domisili penulis, serta pertimbangan gender (baik penulis maupun isu yang ditulis dalam lakon). Sementara itu, Shinta Febriany mempertimbangkan hal-hal seperti pemikiran kritis atas gagasan tematik yang ditawarkan, bentuk dan gaya ungkap yang berbeda, representasi pemikiran perempuan, menipiskan dominasi karya dari satu wilayah tertentu (misalnya Jawa), memberikan porsi yang setara terhadap gender penulis.

Kriteria yang dijalankan Brigitta Isabella berkisar pada bangunan cerita dan dialog yang mencengkram hati, tema yang unik-segar dan kontekstual, perspektif kritis terhadap isu-isu sosial, tidak problematis dalam perspektif gender, sadar akan kelas (berpihak) dan ras/etnis, pemanggungan yang nonkonvensional, keragaman wilayah, serta komposisi gender penulis. Riyadhus Salihin mengacu pada tema pengisahan yang autospasial dan autoetnografi, yaitu kisah yang berasal dari pengetahuan yang menubuh dan menapak dengan lokasi penulis, juga teks-teks bagi para prekariat (menyuarakan kisah-kisah pinggiran), bentuk pengisahan yang menunjukkan crafting the suspense (kesabaran mengungkap adegan dan mencipta ketakterdugaan serta sensasi), crafting the visual (ketajaman penggambaran ruang, rupa panggung, koreografi), dan crafting the new form (bentuk-bentuk yang memberi pertanyaan baru terhadap bagaimana menyusun lakon). Kriteria dari Ibed S. Yuga menitikberatkan pada potensi dan kapabilitas dramaturgis pemanggungan, sinkronisme bahasa tulis dengan bahasa panggung, konsistensi logika peristiwa (realis maupun nonrealis, linier maupun nonlinier), efektivitas bahasa, penghindaran dari keklisean, kesolidan isi berkaitan dengan durasi, ideologi dan keberpihakan penulis terhadap isu dalam lakon, keterbacaan sebagai teks yang mandiri, dan penyediaan ruang yang luas untuk interpretasi yang lain (multitafsir).

Tahap pertama menghasilkan 25 lakon yang berasal dari akumulasi lakon-lakon pilihan personal masing-masing kurator. Sebelum memasuki tahap kedua, tim kurator mengevaluasi ke-25 lakon, melihat berbagai kecenderungan, mengajukan berbagai pertimbangan beserta urgensinya. Salah satu pertimbangan yang dimunculkan dan dinilai urgen adalah persebaran wilayah geografis penulis lakon. Dari pertimbangan ini, tim kurator menambahkan 2 lakon sehingga semua lakon yang akan dipertimbangkan (long list) untuk dipilih dalam tahap kedua berjumlah 27. Diurutkan berdasarkan abjad judul lakon, berikut adalah 27 lakon tersebut:

1. Arsitektur Kata, R. Eko Wahono
2. Belajar Tertawa, Roy Julian
3. Belantara Samargod, Dadang Ari Murtono
4. Biho, Aik Vela
5. Bis Malam, Kolektif Kaleng Merah Jambu
6. Cinta dalam Sepotong Tahu, Agnes Christina
7. Ciu, Hendromasto Prasetyo
8. Di Dalam Rumah #3, Luna Kharisma, Udiarti, dan Febrian Adinata Hasibuan
9. Dongeng Seputar Menara dan Ritus-Ritus, Ahmad Suharno
10. Elliot, Dyah Ayu Setyorini
11. Gangguan Domestik, Gayuh Juridus Gede Asmara
12. Jangkar Babu Sangkar Madu, Verry Handayani, dkk.
13. Jero Ketut, Tom Jerry dan Kisah-Kisah Seumpamanya, Manik Sukadana
14. Lidah, Luna Vidya
15. Malam Perak, Al Galih
16. Manufaktur Anatomi Kera, Gulang Satriya Pangarsa
17. Mata Air Mata, Bambang Prihadi
18. Meja Makan, Luna Vidya
19. MetaNietzsche, Whani Darmawan
20. NuNing Bacok, Andy Sri Wahyudi
21. Perempuan dan Panci Nasi, Nurul Inayah
22. Potret Terakhir, Andy Sri Wahyudi
23. Pulang, Eko RDA
24. Rarudan, Wayan Sumahardika
25. Siti Manggopoh, Afrizal Harun
26. Titik Nol, Agnes Christina dan Nicholas Yudifar
27. Toilet Blues, Desi Puspitasari

Kurasi tahap kedua, yang berlangsung agak alot dalam dua kali pertemuan, bertujuan untuk menciutkan 27 lakon dalam long list menjadi 5 sampai 10 lakon terpilih yang akan dibukukan. Dalam tahap kedua yang bersifat intelektual-dialogis ini, berbagai kriteria mengemuka untuk dipertimbangkan dan diselisik urgensinya. Tidaklah sulit sebenarnya untuk membangun kesepahaman atau kriteria bersama antarkurator. Beberapa kriteria personal kurator yang beririsan satu sama lain kemudian disepakati sebagai kriteria bersama. Beberapa kriteria personal juga kemudian diamini dan dijadikan kriteria bersama. Pertimbangan yang cukup panjang dibahas adalah perihal keragaman wilayah domisili penulis karena keinginan menjadikan buku yang diterbitkan nantinya sebagai ruang perkenalan antarwilayah beserta konteks yang melingkupinya. Namun demikian, tim kurator sangat berhati-hati dengan jebakan tokenisme dan kenyataan bahwa pasti mustahil untuk mengklaim “Indonesia” yang menyeluruh dan representatif. Walaupun akhirnya lakon yang terpilih didominasi oleh penulis yang berdomisili di Pulau Jawa, usaha tim kurator untuk memberi kesempatan seluas-luasnya kepada penulis di luar Pulau Jawa menjadi itikad untuk membuka ruang seluas mungkin bagi perkenalan antarwilayah itu. Dalam kasus yang lebih spesifik, tim kurator sedapat mungkin membuka kesempatan lebih besar bagi penulis-penulis dari luar Yogyakarta, wilayah yang jadi domisili Kalabuku sebagai inisiator platform ini. Memang, Yogyakarta adalah wilayah dengan jumlah peserta terbanyak, ini tentu saja menjadi fakta yang baik dan menggembirakan.

Pertimbangan selanjutnya yang sangat urgen adalah komposisi gender penulis dan isu gender dalam lakon. Perihal isu gender dalam lakon, kesempatan lebih luas diberikan kepada lakon-lakon dengan perspektif gender yang tidak patriarkis atau hipermaskulin. Tim kurator juga berusaha menghindari perwatakan yang menggambarkan watak laki-laki/perempuan secara stereotip, juga glorifikasi maskulinitas yang tidak menempatkan perspektif kritis. Sementara itu, ada hal menarik mengenai pertimbangan komposisi gender penulis, di mana dalam proses kurasi ternyata komposisi tersebut dalam lakon-lakon terpilih sudah cukup seimbang sehingga tidak memerlukan perdebatan dan pengakomodasian khusus.

Tim kurator juga sempat mempertimbangkan perimbangan usia, walaupun ini sangat spekulatif karena tidak semua penulis menyertakan data usia dalam biografinya. Pertimbangan lainnya yang cukup kuat mengemuka adalah keberagaman bentuk dan gaya lakon, misalnya ada beberapa lakon patomim dan lakon bermetode teater pemberdayaan yang masuk. Keberagaman semacam ini diberikan ruang seluas-luasnya untuk memunculkan diri, walaupun tidak serta merta menjadi suatu kekhususan atau hak istimewa yang mesti dipilih. Semua lakon dalam keberagaman bentuk dan gayanya memiliki kesetaraan.

Dari 27 lakon yang dipertimbangkan, tim kurator dengan keras memerasnya sehingga muncul jumlah 17 lakon. Jumlah ini harus diperas kembali menjadi maksimal 10 lakon, sebagaimana yang disyaratkan oleh LeLakon 2020. Proses kurasi menjadi 10 lakon ini tentu adalah masa-masa kritis karena ada berbagai pertimbangan yang mesti disingkirkan atau ditangguhkan. Ada beberapa kriteria yang mesti direm dengan menanamkan harapan terhadapnya di masa depan. Maka, pada puncak perdebatan dan pertimbangan, inilah 10 lakon terpilih yang akan dibukukan, diurutkan berdasarkan abjad judul lakon:

1. Bis Malam, Kolektif Kaleng Merah Jambu
2. Cinta dalam Sepotong Tahu, Agnes Christina
3. Elliot, Dyah Ayu Setyorini
4. Jangkar Babu Sangkar Madu, Verry Handayani, dkk.
5. Lidah, Luna Vidya
6. Manufaktur Anatomi Kera, Gulang Satriya Pangarsa
7. Mata Air Mata, Bambang Prihadi
8. NuNing Bacok, Andy Sri Wahyudi
9. Perempuan dan Panci Nasi, Nurul Inayah
10. Rarudan, Wayan Sumahardika

Semua lakon yang diterima LeLakon 2020 (baik yang terpilih untuk dibukukan maupun yang tidak) memiliki posisi yang sama dalam keikutsertaan pada gerakan ini, sebuah gerakan yang mencoba untuk menyadari, menumbuhkan, dan mempublikasikan eksistensi dunia lakon teater di Indonesia. Semua lakon akan disimpan sebagai arsip LeLakon dan digunakan untuk kepentingan pembelajaran, penelitian, kajian, pembacaan, dan—tidak menutup kemungkinan—berbagai bentuk presentasi ke publik. Jika ada kepentingan yang berhubungan dengan presentasi lakon ke hadapan publik (pembacaan, pementasan, publikasi, dan sebagainya), LeLakon wajib meminta izin kepada penulis. Ke-178 lakon juga memiliki kesempatan yang sama untuk dikurasi (kembali) oleh tim Indonesia Dramatic Reading Festival (IDRF) untuk dibacakan dalam IDRF 2020 pada akhir tahun ini.

Wacana lebih mendetail dan panjang-lebar tentang proses kurasi dan lakon-lakon terpilih akan dipaparkan dalam buku antologi bersama yang rencananya akan diluncurkan akhir tahun ini. Tim kurator juga berencana menggelar webinar untuk mendedah wacana ini secara lebih terbuka kepada para penulis dan khalayak.

Terima kasih. Selamat untuk kita semua!

Indonesia, 10 Oktober 2020
Tim Kurator LeLakon 2020
Muhammad Abe
Shinta Febriany
Brigitta Isabella
Riyadhus Salihin
Ibed S. Yuga