Percobaan Memecah Telur Ionesco

Wacana Penerjemah “Sang Pemimpin dan Masa Depan Ada dalam Telur” 

“Aku suka banget sama telur, sama sepertimu!” Lalu, telur-telur bisa menjelma seorang Marxis, eksistensialis, pendeta, perampok, aktor, babi, sepatu atau sekadar omelet. Dalam dua lakon pendek karya Eugène Ionesco di buku ini, telur adalah retorika cinta, adalah komoditas pasar, adalah benda-benda, adalah regenerasi mesin produksi, adalah makanan, adalah manusia-identitas, tapi tidak manusia-organik. Telur ditetaskan sebagai segala hal itu, kecuali sebagai hal yang organik, yang hidup, yang alamiah. Telur-telur dibebaskan dari keberadaan embrio kehidupan, seperti telur-telur yang umumnya kita temukan di pasar: hanya untuk dimakan, tak bisa menetas. 

Walaupun narasi kedua lakon dalam buku ini tidak berhubungan, barangkali bukan sebuah kebetulan keduanya mengandung telur. Sebagai seorang penulis yang banyak bermain dengan benda-benda, agaknya telur adalah salah satu obsesi dalam naluri kepenulisan Ionesco. Dan tidak aneh jika Ionesco memilih telur, karena memang ia adalah simbol yang sangat potensial dan polisemantik, apalagi jika kita bentangkan dari ranah biologi, industri, ritual, sampai kuliner. Sayang sekali penerjemah belum pernah membaca Jacques or Obedience atau Jack, or the Submission, lakon bagian pertama dari dwilogi Jacques; apakah di sana juga membahas telur. 

Walau hanya disebutkan seakan sambil lalu dalam dua buah kalimat dialog, telur pada Sang Pemimpin adalah tanda yang kuat bagi retorika hubungan cinta Kekasih Lelaki dan Kekasih Perempuan. Bagi keduanya, terutama bagi Kekasih Lelaki, telur adalah identitas—walau klise—yang jadi tanda bagi kesamaan perasaan dalam hubungan mereka. Ini semotif dengan di awal lakon, ketika Kekasih Lelaki secara ironis mengesahkan hubungan cintanya dengan Kekasih Perempuan melalui suatu kesamaan perasaaan: sama-sama tidak saling mengenal. 

Namun telur sebagai struktur, adalah agak berbeda dalam kedua lakon. Walaupun juga menggelinding pada ranah identitas, telur dalam Masa Depan Ada dalam Telur atau Dibutuhkan Segala Hal untuk Membuat Sebuah Dunia lebih kompleks lagi strukturnya, dan tidak menjadi tanda kesamaan rasa dalam suatu hubungan cinta. Jacques dan Roberta juga bukan perluasan dari struktur pasangan Kekasih Lelaki dan Kekasih Perempuan. Telur adalah subjek utama yang justru mengesampingkan peran manusia sebagai subjek dalam lakon, sehingga manusia terpuruk sekadar menjadi objek. Cita-cita dari keluarga Jacques dan Roberta terhadap telur-telur yang baru saja mereka lahirkan melampaui keberadaan manusia-organik. Semua cita-cita itu mengarah ke manusia-identitas dan segala benda yang dibutuhkannya melalui produksi. 

Dalam bahasa Rosette Lamont, refrain “produksi” dalam lakon ini jadi semacam mantra untuk menghasilkan segala hal yang dicita-citakan melalui telur. Semua kumpulan cita-cita identitas keberadaan manusia itu juga disediakan untuk dikeokkan oleh konglomerasi dan dihancurkan oleh perang, layaknya telur-telur yang dihancurkan menjadi omelet, makanan manusia itu sendiri. Membuat melalui cita-cita, memurukkan atau menghancurkannya, membangun lagi, memakannya, memperbarui lagi, sebagaimana logika produk industri, adalah prestasi dari peradaban modern dan tugas mulia dari masyarakat yang disebut sebagai manusia beradab. Jacques, sebagai gambaran dari korban atas semua itu, yang terpuruk oleh segala beban yang ditimpakan oleh otoritas keluarganya, memekikkan kerinduan naluriah manusia yang kontradiktif, yang bagi Lamont adalah semacam tangisan puisi: “Aku mau muncratan cahaya, pijar air, bara es, salju api.”

Masa Depan Ada dalam Telur menumpukan masa depan pada telur yang, kita tahu sebenarnya, bukan dilahirkan oleh percintaan Jacques dan Roberta, namun dari otoritas kedua orang tua mereka, termasuk kakek-nenek-adik si Jacques. “Sebagaimana di masa lalu, masa depan ada dalam telur!” kata Kakek-Jacques. Jika dalam lakon ini otoritas telah bekerja, dalam Sang Pemimpin otoritas masih dalam taraf dibayangkan, pemimpin yang dimimpikan; dan di akhir lakon kita tahu pemimpin itu mewujud tanpa kepala. Membaca Sang Pemimpin pada masa menjelang pemilu, serta menengok gaduhnya puja-caci dari para pendukung masing-masing kandidat, adalah mengalami dua dunia narasi yang paralel.

Walau demikian, Sang Pemimpin yang berjudul asli Le Maître menurut Martin Esslin kurang tepat jika diterjemahkan menjadi The Leader (oleh Derek Prouse; sumber terjemahan edisi bahasa Indonesia ini). Bagi Esslin, great man (sang agung?) lebih bisa mewadahi makna dan rasa yang dimaksudkan oleh Ionesco, dibandingkan leader. Sang Pemimpin dipentaskan pertama kali pada 1953 oleh sutradara Jacques Poliéri, di Théâtre de la Huchette, bersama enam lakon pendek Ionesco lainnya: Le Salon de l’automobile, La Jeune Fille à marier, Les connaissez-vous?, Le Rhume onirique ou La demoiselle de pharmacie, La Nièce-Épouse dan Les Grandes chaleurs. Ketujuh lakon pendek ini oleh Esslin disebut sebagai cabaret sketch yang dengan sangat jelas menunjukkan ciri khas comic technique Ionesco. 

Ciri khas lain dari lakon-lakon Ionesco, menurut Esslin, adalah proliferasi, perkembangbiakan atau pertumbuhan massal orang atau benda yang menginvasi panggung. Masa Depan Ada dalam Telur adalah sebuah lakon yang paling jelas menunjukkan ciri khas ini, di mana telur-telur berproliferasi dengan cepat ketika mendekati akhir lakon. Lakon-lakon lain yang mendemonstrasikan ciri khas ini, di antaranya The Chairs (proliferasi kursi), The New Tenant (furnitur) dan Victims of Duty (cangkir kopi). Menarik untuk dicatat bahwa Masa Depan Ada dalam Telur dan The Chairs ditulis pada tahun yang sama: 1951; begitu pula The New Tenant dan Victims of Duty, keduanya ditulis pada 1953. Lamont menginterpretasi proliferasi telur dalam Masa Depan Ada dalam Telur sebagai simbol obsesi mimpi buruk dari Ionesco terhadap keberadaan daging dan benda-benda; sambil menyinggung bahwa seorang penulis lakon adalah seorang pewujud kesedihan, mimpi buruk, derita yang dalam, ilusi, delusi, harapan dan hasrat di atas panggung. 

Masa Depan Ada dalam Telur ketika dipertunjukkan di Paris; kemungkinan adalah pentas perdananya di Théâtre de la Cité internationale, 23 Juni 1957, yang disutradarai Jean-Luc Magneron. | Foto: The Tulane Drama Review, Vol. 7, No. 3, 1963

Ionesco banyak menolak analisis para kritikus terhadap karya-karyanya. “Bertindaklah seolah-olah Anda tak pernah membaca satu pun yang telah dikatakan, baik atau buruk, oleh para kritikus. Karyalah yang mestinya kita baca terlebih dahulu; dan pada karya itu sendirilah kita mesti kembalikan segalanya secara terus-menerus,” kata Ionesco pada Richard Schechner. Bagi Ionesco, ada banyak karyanya yang diinterpretasi keliru oleh para kritikus. Ia mencontohkan, adalah salah jika menginterpretasi lakon-lakonnya hanya mengandung semangat melawan borjuasi dan dengan demikian berarti Ionesco adalah seorang revolusioner dan Marxis. Itu sangat tergantung dari ideologi yang melingkupi kritikus. “Awalnya mereka bilang lakon-lakon saya adalah bagian dari teater absurd, lalu dicap sebagai kritisisme terhadap kaum borjuis, lalu dikatakan teater bahasa baru. Jika lakon-lakon itu saya tulis pada 1935 atau 1940, mereka akan bilang sebagai sebuah pencarian akan otentisitas.” 

Tampaknya salah satu kritikus yang kajiannya banyak ditolak Ionesco adalah Martin Esslin, yang karyanya dianggap sebagai kitab babonnya teater absurd: The Theatre of the Absurd. Banyak pula kritikus yang menyerang karya Esslin ini; beberapa di antaranya menuduh Esslin terlalu berpijak pada tema lakon untuk membuat kesimpulan tentang absurditas, bukan pada struktur lakon. Atau, Esslin dianggap keliru dalam menerjemahkan dan mengontekstualisasi sebuah kutipan dari Ionesco yang digunakan Esslin untuk mendefinisikan absurditas; juga Esslin dituduh salah dalam membaca Albert Camus sebagai seorang eksistensialis, terutama melalui The Myth of Sisyphus yang digunakan Esslin sebagai jembatan antara lakon-lakon absurd dengan filsafat eksistensialisme. 

Ionesco menghormati Camus setinggi-tingginya, namun sangat membenci Sartre. Dalam sebuah wawancara ia menggambarkan dengan jelas mengapa ia membenci filsuf eksistensialis itu, yang justru oleh banyak kritikus diklaim sebagai sumber besar ide lakon-lakon absurd, terutama melalui Being and Nothingness. Ionesco menyebut Sartre sebagai “manusia buta par exellence”, “oportunis dari partai resmi oposisi”, “orang bodoh yang superior”, “pengikut Heidegger dan Husserl ketika Jerman berjaya, jadi humanis dan eksistensialis ketika Jerman kalah, dan berbelok jadi Marxis saat Rusia unggul”. Ionesco menuduh Sartre dan Marxisme sebagai mistik, suatu kultus yang dengan sombongnya mengklaim diri berpikiran jernih. “Jika eksistensialisme adalah filsafat dari absurditas, bagaimana bisa ia jadi humanis?” sergah Ionesco. 

Tampaknya, karena Marxisme pula Ionesco membenci Bertholt Brecht dan penganut Brechtian. Menurutnya, Brecht itu didaktis dan ideologis, bahkan adalah cerminan dan gambaran dari sebuah ideologi. Bagi Ionesco, Brecht tak mengajarinya apa-apa; hanya perulangan yang tak berguna. Karya-karya Brecht terlalu sosial dan miskin metafisikal. Ionesco mengakui karyanya sendiri berbicara tentang keseluruhan kondisi manusia, baik aspek sosial maupun aspek metafisiknya; karena itu ia mengklaim karyanya lebih lengkap dibanding karya Brecht. Namun demikian, banyak kritikus yang menilai bahwa ide, tujuan serta cara pandang Ionesco dan Brecht dalam relasinya dengan semesta, manusia serta panggung, adalah mirip. 

Ionesco sendiri menyebut dirinya seorang patafisikian, penganut patafisik. Apa itu patafisik? “Bermula dari fisik. Jika metafisik adalah apa yang melampaui metafisik, maka patafisik adalah apa yang melampaui metafisik,” jelasnya. Apakah ini sebuah filsafat? “Sebuah ilmu tentang solusi imajiner,” tambahnya. Pada 1952, Ionesco bergabung dengan Collège de pataphysique, sebuah komunitas yang mengklaim diri berkomitmen melakukan penelitian yang cendekia sekaligus tak berguna (inutilious). Komunitas ini mewadahi para seniman dan penulis avant-garde Prancis, didirikan pada 1948 untuk menghormati Afred Jarry, seniman avant-garde Prancis dan pencetus istilah patafisik di dunia modern. 

Lalu bagaimana Ionesco menulis lakon? Esslin mengajukan hipotesis tentang proses penulisan lakon-lakon Ionesco banyak dilakukan melalui kerja bawah sadar, semacam proses kreatif misterius yang pada taraf tertentu di luar kontrol kesadaran; hal yang sering ditolak oleh Ionesco sendiri. Lakon-lakon Ionesco dikenal dengan permainan bahasa, atau masalah bahasa. Ia mengaku sering memulai menulis sebuah lakon dari subjek bahasa, bukan peristiwa atau tokoh. “Betapa nikmatnya menghancurkan bahasa,” katanya. Itu pula yang menurutnya membedakan lakon-lakonnya dengan lakon-lakon realis. Ia mencontohkan, jika dalam lakonnya seorang tokoh berkata, “Aku kena encok,” itu akan terdengar lucu dan orang akan tertawa. Tapi jika dialog itu diucapkan oleh seorang tokoh dalam lakon Arthur Miller, orang akan menangis. 

Mari akhiri sebuah usaha untuk memecah telur Ionesco ini dengan kutipan panjang sebuah esai Ionesco untuk pengantar adaptasi The Possessed karya Dostoyevsky, di mana ia menjalani debutnya sebagai seorang aktor: “Betapa sulitnya menulis sebuah lakon: membutuhkan upaya fisik yang luar biasa; seseorang harus beranjak dari ranjang, yang menjengkelkan, seseorang harus duduk di saat bersamaan ketika seseorang terbiasa dengan ide tentang berdiri; seseorang harus mengambil pulpen, sebuah benda yang luar biasa beratnya; seseorang harus mencari kertas, yang selalu sulit diperoleh; dan seseorang harus duduk menghadap meja, yang sering ambruk karena tak kuat menahan beratnya siku seseorang.... Di sisi yang lain, adalah relatif gampang menciptakan sebuah lakon tanpa menuliskannya. Sangat gampang membayangkannya, memimpikannya, rebahan di atas dipan setengah tidur setengah terjaga. Yang dibutuhkan seseorang hanya membiarkan dirinya berkelana, tanpa bergerak, tanpa berusaha untuk mengontrol kejadian demi kejadian. Seorang tokoh muncul, yang sulit diketahui dari mana datangnya, lalu memunculkan tokoh-tokoh lainnya. Yang pertama mulai bicara, pertukaran pertama terjadi, catatan pokok telah dicoret, sisa dialog akan muncul dengan sendirinya.”

Referensi 
Bennett, Michael Y. 2011. Reassessing the Theatre of the Absurd: Camus, Beckett, Ionesco, Genet, and Pinter. New York: Palgrave Macmillan. 
Ekberg, Jeremy. 2015. The Myth of Identity in Modern Drama. Newcastle: Cambridge Scholars Publishing. 
Esslin, Martin. 1963. “Ionesco and Creative Dilemma” dalam The Tulane Drama Review, Vol. 7, No. 3.
Esslin, Martin. 2001. The Theatre of the Absurd, edisi ketiga. New York: Vintage Books. 
Ionesco, Eugène. 1960. “The Leader” dan “The Future is in Eggs or It Takes All Sorts to Make a World” dalam Rhinoceros and Other Plays, terj. Derek Prouse. New York: Grove Press. 
Jacquart, Emmanuel. 1973. “Interview: Eugène Ionesco” dalam Diacritics, Vol. 3, No. 2. 
Lamont, Rosette C. 1962. “The Proliferation of Matter in Ionesco’s Plays” dalam L’Esprit Créateur, Vol. 2, No. 4.
Lamont, Rosette. 1969. “An Interview with Eugene Ionesco” dalam The Massachusetts Review, Vol. 10, No. 1. 
Schechner, Richard. 1963. “An Interview With Ionesco” dalam The Tulane Drama Review, Vol. 7, No. 3.