Galeri Teater di Lapangan Parkir

Pengantar Penulis untuk Teater Kedua

Buku ini sebuah tapal batas antara teater dengan yang “sebelum-teater” dan yang “sesudah-teater”. Ia seperti waktu yang diterima lebih sebagai pembacaan daripada sebagai hitungan. Setelah sebuah pertunjukan teater usai, apakah yang “sebelum-teater” itu bukan teater dan yang “sesudah-teater” itu juga bukan teater? Dalam tapal batas ini semacam kontinuitas baru tumbuh menjadi kesadaran, tidak terduga, sedikit terduga, kadang tak terjamah dalam membaca yang hadir dan yang baru saja kita alami. Biarkan begitu saja: kita tidak bisa menggunakan kekerasan untuk mencairkan yang beku; dengan cara justru membuatnya menjadi pecah.

Akhir November 2009, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) membuat simposium mengenai seni pertunjukan selama tiga hari di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Simposium ini melibatkan berbagai disiplin. Saya sempat terlibat dalam sesi pembicaraan mengenai estetika teater. Dalam pembicaraan ini masing-masing peserta mendapat kesempatan untuk mengungkapkan bagaimana pengalaman pribadinya yang berkesan ketika menonton teater. Pembicaraan ini berangkat dari pengandaian: apa sih estetika teater itu kalau kita tidak pernah tahu pembacaan penonton atas pertunjukan yang ditontonnya? 

Yang menarik dari pembicaraan ini—adalah—sebagian peserta mengungkapkan kenangannya yang tidak terlupakan saat pertama kali menonton wayang. St. Sunardi di antaranya, merasa kalau terlalu lama tidak menonton wayang, ia khawatir hidup ini sungguh-sungguh fiksi. Wayanglah yang membuat ia percaya bahwa hidup ini adalah nyata dan bukan fiksi.

Pernyataan Sunardi itu, walaupun dinyatakan dengan nada berkelakar, untuk saya merupakan sebuah pembacaan penting: bagaimana seorang penonton menempatkan dirinya di antara dunia pertunjukan dan kenyataan. Posisi ini merupakan tapal batas di mana sebuah pembacaan berubah menjadi aktivitas penandaan yang genting, berani dan terbuka. Aktivitas penandaan ini bukan untuk melegitimasi sebuah pertunjukan itu bagus atau jelek, melainkan bagaimana terciptanya medan penandaan dalam wilayah pembacaan penonton akibat pertunjukan yang ditontonnya.

Pada masa kanak-kanak saya, di daerah Senen, Jakarta Pusat, ada sebuah gedung pertunjukan wayang orang. Wayang Orang Adiluhung, namanya. Kawasan ini memang menarik, karena memiliki empat gedung pertunjukan: Wayang Orang Adiluhung, Wayang Orang Bharata, Miss Tjitjih (gedung yang mementaskan drama-drama Sunda klasik) dan Bioskop Grand untuk memutar film.

Wayang Orang Bharata. | Foto: Afrizal Malna

Saya selalu takut untuk nonton di Miss Tjitjih, karena banyak mementaskan drama mengenai hantu. Perempuan yang bunuh diri dalam sumur, misalnya, menjadi kuntilanak, atau beranak dalam kubur. Saya masih ingat sebuah adegan: perempuan hamil bergaun putih, terbaring, dengan sebuah batu besar di atas perutnya yang hamil. Banyak film horor Indonesia berangkat dari drama-drama klasik Sunda ini. Drama-drama ini dibuat sangat realis, di antara bulan purnama dan suara lolongan anjing di malam hari. Tetapi juga saya selalu takut setiap muncul adegan keluarnya para raksasa dengan suara gemuruh dari musik, teriakan dan geraman mereka, rambut gimbal, gigi tajam-tajam saat menonton Wayang Orang Adiluhung. 

Namun pada saat-saat tertentu, ketika saya sedang bermain, kadang saya main ke lapangan parkir di samping gedung Adiluhung itu, saya bisa melihat pakaian-pakaian wayang itu (termasuk pakaian dan gigi raksasa) sedang dijemur di lapangan parkir itu. Saat-saat seperti itu sangat memukau saya. Sebagai anak kecil, saya bisa melihat gigi dan mulut raksasa itu dari jarak dekat, menyentuh rambutnya yang kasar terbuat dari ijuk. Peristiwa ini telah menjadi tontonan lain, seperti sebuah pameran. Lapangan parkir itu seperti berubah menjadi galeri terbuka akibat pakaian-pakaian wayang yang dijemur dengan cara menggeletakkannya begitu saja, terhampar di lapangan parkir.

Saya menarik napas, seperti memasuki sebuah lorong dari dunia Jawa: lorong di mana kenyataan dan fiksi bertemu sebagai bayangan yang nyata, seperti ungkapan St. Sunardi di atas. Lorong di mana pusat-pusat penandaan, visual maupun naratif, berubah menjadi lalu lintas superego untuk berbagai aktivitas personifikasi yang mungkin bisa kita lakukan. 

Miss Tjitjih dan gedung Wayang Orang Adiluhung itu kini sudah tidak ada. Miss Tjitjih berubah menjadi gedung bioskop (Rivoli) yang memutar film-film India. Gedung Wayang Orang Adiluhung yang juga pernah berubah menjadi gedung bioskop, kini mungkin sudah menjadi ruko. Tetapi simposium teater yang dibuat oleh Teater Garasi itu, akhirnya seperti sebuah parkir juga bagi saya, untuk mengingat lagi buku ini yang terbengkalai selama 12 tahun*, tersimpan dalam hardisk saya. Pernah akan diterbitkan teman-teman (Rusdi, Agus Sarjono, dkk.) di Bandung, tetapi gagal. Juga oleh Buldan (Yogyakarta). 

Buku ini selesai saya tulis sebelum buku teater banyak diterbitkan sekarang ini, seperti dari Suyatna Anirun, Bakdi Sumanto, terbitan-terbitan Teater Payung Hitam, Yudiaryani, Tommy F. Awuy, Jakob Sumardjo, Sapardi Djoko Damono, Jurnal MSPI, Lèbur atau terjemahan-terjemahan mengenai teater yang dibuat Max Arifin. Sebelum Radhar Panca Dahana membentuk Federasi Teater Indonesia, sebelum media digital berkembang seperti sekarang ini. Pengantar yang ditulis Marianne König dan Michael Bodden juga dilakukan lebih dari 12 tahun yang lalu, sebelum reformasi.

Jadi buku ini diterbitkan setelah penulisnya “mati”. Karena saya yang 12 tahun lalu, melalui masa reformasi, mungkin tidak sama dengan saya yang sekarang. Kelompok-kelompok teater yang pertunjukannya pernah saya tulis mungkin juga sebagian besar telah mati atau berubah. Akhirnya, buku ini sebagian bisa juga disebut sebagai “kuburan teater”. 

Beberapa bagian dalam buku ini saya tulis kembali dengan membongkarnya dan terjadi aktualisasi di tingkat data, penambahan bahan-bahan pertunjukan dari kegiatan saya menonton sampai awal tahun 2010. Bahan yang sangat sedikit karena kegiatan saya menonton sangat jauh berkurang setelah 12 tahun yang lalu. Untuk edisi baru (2018) ini, saya tambahkan dengan “Galeri waktu: Era para Bintang” serta “Modernisme dan Kaum Urakan”, masa yang bagi saya masih penuh misteri antara tumbuhnya Opera Bangsawan, tumbuhnya modernisme awal di masa kolonial, Perang Dunia I dan krisis ekonomi dunia. Dalam edisi ini juga saya sertakan tulisan dari beberapa pertunjukan yang sempat saya tonton di Swiss maupun Jerman.

Mungkin buku ini juga bisa diperlakukan sebagai tempat parkir untuk teater di Indonesia. Buku yang sering membuat saya putus asa untuk melanjutkannya. Tetapi saya paksakan menyelesaikannya, di antara kegelisahan mencari kaitan untuk bisa membunyikan kembali kenyataan melalui teater; bermain dengan kekinian yang begitu cepat menjadi basi, memprovokasi ketakutan yang pengecut terhadap masalalu dan hari esok. Tentang tubuh kita, tentang pakaian kita, tentang bagaimana kita berbicara, berjalan, berdiri, menyatakan kesunyian dan kematian melalui teater. 

Saya mencintai bidang ini, lebih karena teaterlah yang paling depan berdiri berhadapan dengan publik dan tubuhnya sendiri, berhadapan dengan masalalu dan masakini, dibandingkan dengan kesenian lainnya yang bersembunyi di balik media yang digunakannya. •

Afrizal Malna

* Sampai edisi pertama buku ini terbit (2010).—Ed